37. Paper Umbrella (b)

1.8K 180 10
                                    

"Ternyata kamu juga bertindak setengah-setengah, Damai." Di tengah perjalanan, gadis itu menyerukan isi hatinya. Ia mengeratkan cekalannya sambil tersenyum kosong di sana. "Kamu ... persis dengan Glenn." Damai terdiam sebentar, membenarkan posisi Neraca di punggungnya lalu kembali melanjutkan langkah. Dingin sekali. Pria itu sama sekali tak memberi tanda ingin menimpali.

"Kamu gak konsisten. Harusnya biarin aja aku mati." Damai tersenyum culas, pria itu diam-diam mengepalkan tangannya. "Inikan kemauan kamu, menghancurkan Glenn melalui aku?"

"Ya. Memang harusnya begitu." Katanya datar, Neraca menggigit bibir bawahnya. "Tapi karena janji, semuanya jadi begini."

Gadis itu berkedip, "seperti yang gue katakan sebelumnya, selama lo masih terlihat oleh mata, gue ... gak akan tinggalin lo sendiri, Neraca."

"Kenapa sesakit ini?" Suara Neraca bergetar. "Apa maksudnya? Jelas-jelas kamu yang udah tinggalin aku sendiri." Damai terus melangkah menyusuri jalan, fajar mulai menampakkan dirinya, Damai benar-benar kelelahan karena sepanjang perjalanan tadi ia menggendong sang mantan tunangan.

"Kenapa kamu datang?! Kenapa?!"

Kesal karena Neraca mulai melakukan tindakan kekerasan di punggungnya, Damai segera menurunkan gadis itu di bawah pohon besar. "Gue juga gak tahu!" Katanya membalas berteriak, Neraca terisak, gadis itu tersedu dalam tangisnya. "Mungkin gue udah gila!"

Neraca kembali menggigit bibirnya, tubuhnya terlihat menggigil menahan dingin.

"Aishh... bener. Kayaknya emang gue gila." Mengacak rambutnya yang basah karena terkena gerimis, Damai melirik Neraca yang mengalihkan pandangannya, gadis itu terlihat seolah tak ingin melihat wujudnya. "Ini sinyal kenapa gak ada lagi?!" Mengayunkan ponselnya ke udara, Damai berusaha menghubungi seseorang untuk meminta pertolongan.

Mengingat kejadian sebelumnya. Mereka terjebak semalaman di hutan. Dan baru subuh tadi Damai mencoba mencari jalan keluar, dengan hanya menggunakan kaos yang membalut tubuhnya, tak dipungkiri, Damai juga merasakan dingin. Apalagi posisinya sekarang sedang gerimis.

Damai mentatap sweeter miliknya yang dipakai Neraca, padahal sudah Damai double pakaiannya, tapi mengapa wajah gadis itu semakin pucat dan tubuhnya tak henti menggigil. Damai mulai khawatir lagi. Setelah semalaman Neraca tak sadar, pria itu wanti-wanti tentang keadaannya.

"Dingin?" Suara Damai melembut, secepat kilat pria itu menggosok-gosokan tangannya ke tangan Neraca. "Ayo naik lagi. Kita harus secepatnya keluar dari sini." Memasukan ponselnya, ia membimbing Neraca agar segera naik ke punggungnya, gadis itu justru menggeleng- lemah.

"Aku lemes, Damai." Pria itu menatap lekat Neraca, rautnya penuh kekhawatiran. "Aku mau istirahat aja."

"Enggak!" Saat gadis itu hendak menutup netranya, Damai merangkum wajah pucat itu mencoba menyadarkan. "Lo gak boleh merem. No. Gak boleh."

Neraca terdiam, lalu gadis itu menurunkan tangan Damai- pelan. "Aku gak akan mati. Aku cuma mau tidur doang." Bibir pucatnya menyunggingkan senyum, Damai berkedip lalu kembali menggelengkan kepalanya.

"Enggak." Katanya diselimuti rasa khawatir. "Semalam lo udah tidur lama, Neraca-"

"Aku lelah!" Neraca memotong kalimatnya  sambil menutup netra, tanpa alasan, setetes air bening jatuh di pipinya. "Aku bener-bener lelah, Damai."

"JANGAN!"

"Kamu kenapa, sih?!" Damai terjungkal, dengan keras gadis itu menoyor kepalanya lantara kesal. Apa salahnya dengan istirahat sebentar, mengapa Damai begitu lebay. "Suara kamu bising, bikin pusing!"

Pria itu berkedip- polos. Memperhatikan wajah itu yang berubah merah. Merasa geli sendiri, ia terbahak lalu merebahkan diri. Neraca memandanginya dalam diam, Damai terus tertawa, tak memperdulikan pakaiannya yang kotor di sana.

Perasaan ini ... Kembali ada?

Hatinya menghangat saat mendengar tawanya. Di bawah gerimis bertutapan payung kertas, Neraca jelas menyunggingkan senyum tulus tanpa alasan. Degup jantungnya tak terkendalikan, bolehkan Neraca menyebut semua ini kebahagiaan?

"Kayaknya ... giliran sekarang aku yang gila."

***

Berita menghilangnya Neraca sudah menyebar kemana-mana. Wali murid yang mengkhawatirkan anak-anaknya pun satu persatu menyusulinya. Keadaan sudah tak terbentuk lagi, bahkan di antara mereka ada yang memilih untuk pulang sendiri.

Pihak sekolah pun angkat tangan. Mereka membiarkan saja wali murid membawa pulang putera-puterinya, mungkin acara tahunan kali ini meninggalkan kesan trauma, dan setelah kejadian korban hilang, bisa jadi ini adalah acara tahunan yang terakhir kalinya.

Petugas keamanan dari pihak serius sudah disebarkan, tempat camping pun sudah bersih tak lagi meninggalkan kesan. Hari pun semakin petang, langit yang memang mendung membuat suasana semakin tegang. Neraca masih tak ada kabar, Glenn ... rasanya ingin menghilang saja.

Ditemani Yohana- Ibunda Damai, Glenn mencoba menenangakan dirinya. Wanita gaul itu juga datang lantaran mendengar berita yang tak mengenakan menimpa calon dari puteranya. Mengingat permasalahan keluarganya dulu, Yohana sempat tertegun saat melihat Glenn, ia tak menyangka anak dari sang sahabat ikut serta dalam acara sekolah anak-anaknya.

Wanita matang itu risau, sedari tadi netranya mencari-cari seseorang. Damai sama sekali belum kelihatan, apa jangan-jangan ...

"Pak, ternyata dari semalam Damai juga gak ada di tenda!" Gerakan mengelus punggung Glenn tertahan, mendengar nama sang putera disebut, jantung Yohana berdegup kencang. Saking syoknya melihat Glenn, ia sampai lupa kehadiran puteranya.

"Da-damai ... anak, Tante?" Cakra menoleh, pria itu tertegun menghadapi situasi ini, melihat wajah pias dari Ibunda sang sahabat, Cakra mendekat lalu mulai menggenggam tangan Yohana yang mulai tremor parah. Serangan panic attack. "Cakra, Damai anak Tante di mana-"

"Itu Damai!" Semua mata bergerak mendengar seruan Nilon yang tiba-tiba, di sana terlihat Damai digendeng petugas tim SAR. Mata Yohana berkaca-kaca, wanita matang itu langsung mendatangi puteranya yang disusul oleh ketiga sahabat Damai juga.

Glenn menoleh, perlahan rahangnya mengeras lalu tangannya pun mengepal erat. Dengan pakaian kotornya, Damai tersenyum sumringah melihat kehadiran Ibunda, lalu yang membuatnya murka, mengapa di sisi lainnya, ada gadis yang mengikutinya. Wajah itu pucat sekali, apa semalaman mereka terjebak berdua di dalam hutan?

Yaa, lagi-lagi mengapa harus Damai yang ada di sisinya?

Glenn terkekeh sesak, lalu menjatuhkan air matanya. Mengapa bisa mereka selalu terlihat bersama?

Tangannya semakin mengepal, urat-urat ditangan pria itu tercetak jelas, gadis berambut panjang yang beberapa hari ini diam memperhatikan kekasihnya itu tersenyum kosong. Mengapa hubungan meraka rumit dan tak pernah terselesaikan. Ia mencintai prianya, namun pria itu mencintai gadis lain dan bukan dirinya. Sudah hampir satu tahun ia bersabar, namun Fanny tak pernah sekalipun menikmati hasilnya.

Selama ini ia tersiksa mencintai sendiri, Glenn berstatus kekasih namun Fanny sama sekali tak bisa membuatnya membuka hati. Pandangan Glenn hanya tertuju untuk Neraca, hari-harinya dipenuhi harapan bersama gadis yang begitu ia cinta. Fanny tak bisa menjangkaunya, gadis itu stres hanya karena Glenn yang pura-pura mengaku sudah melupakan Neraca.

Hatinya sungguh nelangsa, dan yang tak ia mengerti, setiap Glenn tersakiti ia justru sama merasa seolah ingin mati.

Melihat air matanya, dadanya mendadak sesak. Merasakan amarahnya, Fanny seolah ingin menangis sejadi-jadinya.

Inikah cinta?

Tentu. Yang dirasa sudah pasti tak hanya bahagia melulu. Cinta juga bisa berbalik menyakitkan, dan jika kamu sudah mulai meneteskan air mata, entah haru ataupun suka cita, tandanya ... hatimu sudah benar-benar mencintainya.

Yaa. Persis Fanny yang kini tengah merasakannya.

***

Jangan serius² loh, ini tuh fiksi-commedy jadi pasti ada sentuhan jayus²nya HAHHHHAHAHA. Sebel gak sih mau sedih baca eh mas Damai malah kocak 😭🤣

.

Dukung cerita dengan meninggalkan vote serta komentar. See u, cintaaaaa.

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang