41. Psycho

2K 167 8
                                    

Sore ini, hujan kembali turun. Di balik jendela, Damai memperhatikan dua orang gadis yang tengah memaksa menyebrang jalanan.

Gadis itu ... apa tidak akan sakit jika bermain hujan-hujanan?

Bel pulang sekolah pun sudah berdering sekitar 10 menit lalu, di sisi lain, sayup-sayup seseorang berusaha memulihkan kesadarannya, kepalanya begitu pening, lalu saat menyadari punggung tegap di hadapannya mulai berbalik arah, Tyas- si cewek yang menguncir tinggi rambutnya itu tertegun, matanya membola saat retinanya beradu dengan netra sayu milik Damai.

Bagaimana bisa?

Saat ia menoleh ke sisi kiri dan kanan, ia gemetaran, bukan hanya dirinya, ternyata ... Mitha dan Lea juga turut serta.

Tunggu, apa mereka pingsan?

Jadi ... kejadian waktu lalu, bukanlah mimpi belaka?

Di toilet, ketiga gadis itu tertawa. Sehabis olahraga, mereka beristirahat sambil sekalian mencuci tangannya, Tyas- si ketua geng sejenak meredakan suara, gadis cantik itu kegerahan lalu memilih menguncir tinggi rambut panjangnya.

"Kayaknya si Aca cinta banget ya, sama si Damai?" Memoles bedak tipis ke wajahnya, Lea menyeletuk santai. "Dia beneran takut sama ancaman lo, Yas." Ia tertawa. "Yang bener aja, coba, masa iya si Damai gila?"

Mitha yang memilih duduk di tempat cuci muka, mengangguk setuju di sana. Ia tak habis pikir dengan sahabatnya, bagaimana bisa Tyas mengancam Neraca dengan mengatakan ingin menyebar berita, bahwa dulu pria itu bermasalah dengan mentalnya. "Punya ketua emang hebat, licik banget lo dasar jalang!"

Tyas tertawa saat Mitha melempar lipstik ke arahnya, gadis itu selesai dengan rambutnya, ia lalu menatap lurus pantulan dirinya di cermin besar. "Itu ... si Acanya aja yang bego!"

Lea selesai berdandan, gadis itu merengkuh Tyas yang tengah melamun- menatap kosong pantulan dirinya. "Tapi, apa kita gak keterlaluan?"

"Keterlaluan?" Tyas menoleh- menatap tak suka. "Ini baru permulaan."

"Kejam."

Mereka bertiga kembali tertawa, rencana mereka berjalan dengan lancar, dengan kebodohan Neraca, Tyas berhasil mengelabuinya. Sesuai dugaannya, gadis itu memang benar mencintai Damai. Ternyata pertunangan mereka tak main-main, awalnya Tyas kira hubungan mereka hanya bualan, bagaimana bisa Tyas yang dari dulu menginginkan pria itu, tiba-tiba saja Neraca datang lalu menghancurkan segalanya.

Tyas marah, hatinya terluka. Damai sudah mempermainkannya.

Di antara Bucai, ia yang paling istimewa. Karena cantik juga, Tyas yang paling diperlukan baik oleh sekelompok pria bernama The boysworld itu. Ia tidak terima jika tiba-tiba Damai bersama gadis lain dan itu bukan dirinya.

Memangnya ... selama ini, Tyas kurang apa?

"Lo ... cuma kurang sadar diri aja."

Tyas mengangkat wajah, netranya membola saat melihat ada pantulan lain di cerminnya, lalu saat kedua temannya tiba-tiba berteriak, tak lama setelah itu, Tyas pun menyusul untuk kehilangan kesadarannya.

"Lo ... emang monster." Kata Tyas lirih, Damai tersenyum culas diiringi dengan suara gemuruh dari luar, "LO GILA DAMAI, LO PSIKOPAT. LEPASIN KITA!!!"

Tyas menangis, ia benar-benar ketakutan di tempat gelap ini. Sebenarnya sudah lama ia menyadari ada yang tidak beres dengan Damai, dulu ia selalu menyangkalnya, namun saat melihat Damai bertindak seperti sekarang, ia percaya dengan isu di luaran sana.

Damai memang gila. Apa ... pria itu akan membunuhnya?

"TOLONG!!!" Tyas berkeringat dingin, tubuhnya susah sekali bergerak, ia diikat dengan posisi kepala yang berdarah. Apa waktu lalu Damai serius memukulnya dengan tongkat?

Jantungnya berdegup kencang, saking ketakutannya, Tyas sampai merasakan mual di perutnya. Ia lalu muntah.

"Ya ampun, jorok." Di dekat pintu, Samudra mengeluh. "Buruan selesaiin urusan lo, asli ini bau!" Mencium aroma yang tak sedap, pria itu malah ikutan muntah di sana.

Damai berdecak, "Bisa gak, keren dikit. Dasar goblok!" Samudra tak membalas, pria itu justru sibuk menutup hidungnya. Jadi, Samudra juga ikut andil menculiknya, Tyas sungguh tertampar dengan segala kenyataan.

"Kenapa lo dorong Neraca ke jurang?" Tyas mendongak, suara Damai terdengar penuh kecaman. "Hm?"

Semakin ketakutan, gadis itu menangis histeris saat Damai mulai mengacungkan pisau lalu memutarnya. "KENAPA?" Seraya berteriak, tanpa aba-aba Damai santai melempar pisaunya, Samudra tertegun saat benda tajam itu hampir mengenai surai Tyas. Apa Damai sadar dengan tindakannya?

"Dam-"

"Kalo sampai terjadi sesuatu sama dia, gue gak akan mikir dua kali buat bunuh lo."

Tyas syok, dengan wajah yang pucat pasi, gadis itu hanya diam tak merespon. Sesaat, Tyas terlihat linglung, ia sungguh terkejut dengan lemparan pisau tersebut.

"Mohon pengampunan." Kata Damai serius, Samudra di ujung sana terus saja memperhatikan sahabatnya. Tangan Damai juga bergetar, namun rautnya masih terlihat datar. "Selebihnya, jangan pernah nunjukin wajah lo lagi."

***

"Aca gue minta maaf!"

Saat membuka pintu, Neraca dikejutkan dengan kedatangan Tyas dan kedua temannya. Penampilan mereka terlihat berantakan, ada bagian luka kecil juga di tubuhnya, perlahan Tyas bersimpuh, dengan tubuh bergetar ia tak hentinya menangis pilu.

"Aca apa yang harus gue lakuin?" Neraca berkedip, tangannya masih menggenggam knop pintu. "Gue minta maaf karena sengaja dorong lo di acara tahunan."

Lea dan Mitha mengangguk, namun Neraca sama sekali tak berniat membalasnya. "Maaf karena udah ngancem juga, Ca." Lea sudah benar-benar lelah, tubuhnya terasa lemas, namun saat ia menoleh ke sisi lampu jalan, gadis itu tiba-tiba kembali menangisi histeris. "Maaf. Maaf. Maaf."

"Aca-" Saat Tyas hendak menyentuh tangan Neraca, gadis itu mundur- ia menolaknya, semakin menggigil ketakutan, Tyas terlihat frustasi, ia ... harus berbuat apa lagi?

"Kita minta-"

"Kalian pulang aja." Mereka bertiga langsung mendongak, dengan wajah datar Neraca lalu santai berbalik arah. "Aku gak akan pernah maafin kalian. Harusnya kalian cukup sadar diri, selanjutnya ... kalian pasti tahu apa yang harus dilakuin."

Deg.

Tyas meremas rok abunya- kuat. Air matanya terasa menyengat, mereka memang pasangan gila. Damai dan Neraca memang tak berperasaan.

Satu hari setelahnya, Neraca bernapas lega. Tyas beserta temannya cukup cekatan menangkap maksudnya. Mereka bertiga akhirnya mengakui kesalahannya sendiri, pihak sekolah pun mengambil tindakan tegas untuk men-dropout siswa-siswa yang kelewatan- bertindak mendekati kriminal.

Jika saja bisa dibicarakan, mungkin Tyas, Mitha serta Lea masih bisa diselamatkan. Namun, dari awal Neraca yang memang tak bisa mentolerir, gadis itu masih berat untuk memaafkan. Pihak sekolah pun cukup memaklumi, untuk itu mencoba menawari tindakan hukum. Namun, gadis itu menolak, Neraca hanya minta mereka untuk pindah sekolah saja.

Perlahan-lahan, Neraca merasakan aktifitasnya kembali normal. Ia tak lagi dibully, di kelas ia tak lagi terisolir. Akhirnya untuk pertama kalinya, ia bisa berdiri sendiri. Ia tak lagi di bawah bayang-bayang orang lain lagi.

Terima kasih.

Ini sungguh mengesankan, untuk pertama kalinya ... Neraca akhirnya bisa menyukai dirinya sendiri.

Wajahnya tersapu udara, Neraca tersenyum cerah seraya membuka netra.

Sungguh membanggakan-

"Hai ... cewek."

Eh?

***

Tamaaaattttt!! Boong deng, wkwkwkwk.

Kemarin Incess ada tes kerja, sorri y kalo mungkin ada yang nungguin Damai sama Acanya kelamaan, hehe.

Mau ending nih, yuhhhhuuuuu. Semangat buat semangati Incess yak. Yuk kebut yuk kebut nulisnya :)))))

See you.

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang