46. Blue Skies

2K 154 17
                                    

"Bi..." Gadis itu memanggil, tersenyum tulus seraya mendekati. "Lo masuk hari ini?"

"Hm." Bintang membalas ramah, "gue gak cocok sama rumah sakit. Gue juga banyak kerjaan yang belum diperbaiki."

Luna menghela napas, Bintang memang terlalu memaksakan. Acara tahunan yang ia ketuai kemarin tak berjalan sesuai ekspektasi. Hasilnya, pulang dari acara, Bintang justru jatuh sakit. Padahal ujian tinggal menghitung bulan, namun Bintang justru terlihat tertekan. Pria itu kelelahan, pikirannya tak mampu menampung semua beban. Baginya, waktu lalu ia sudah gagal, baginya, Bintang sudah menghancurkan acara yang seharusnya menjadi tanda kenangan masa sekolahnya. Ia memang pecundang, Bintang sebagai ketua tidak berguna. Malu sekali jika mengingatnya.

Aish ...

Tangannya mulai tremor lagi, Bintang berhenti sejenak memperbaharui laporan. Ia mencoba mengatur napas, lalu kembali melanjutkan ketikannya.

Luna selalu memperhatikannya, Bintang selama ini adalah pria yang ia puja. Alasan ia mencalonkan diri ikut organisasi, agar ia bisa selalu dekat dan menjadi tangan kanannya. Luna senang dibutuhkan, gadis itu bahagia saat Bintang tak bisa bekerja tanpa dirinya. Hampir tiga tahun mereka selalu menghabiskan waktu bersama, Bintang jelas sadar akan perasaan gadisnya, walau pria itu tahu status Luna bukanlah lajang yang bisa sesuka hati cinta terhadap siapa saja. Yaa, jelas, gadis itu sudah mempunyai Nilon- sang tunangan.

"Cukup, Bi." Katanya sambil menahan pergerakan Bintang, pria itu terkesiap lalu menoleh kilat. "Apa gunanya gue tiga tahun ini jadi tangan kanan lo, kalo urusan laporan aja belum diberesin." Luna tersenyum seraya menutup laptop di pangkuan Bintang. "Lo bisa santai sekarang, lo harus pikirin juga kesehatan. Inget, bentar lagi kita ujian, dan gak lama kita juga turun jabatan."

Bintang terdiam. Benar, masanya sudah harus usai, pria itu tak perlu terlalu memaksakan juga. Mungkin kemampuannya hanya sebatas itu, Bintang tak perlu lagi merasa malu. "Terima kasih, Nada." Luna merona saat Bintang kembali memamerkan senyum memesonanya. "Selama tiga tahun ini lo pasti kesusahan, karena berusaha menyempurnakan ambisi gue ini. Hm, gue gak tahu jadinya, kalo lo gak ada di sisi." Gadis itu menunduk lalu mengangguk singkat, di posisinya Bintang justru tertawa melihatnya.

"Apa yang lucu?"

"Engak, engak!" Bintang berusaha meredam tawa, wajah Luna semakin merona. "Gue kepikiran aja, Nilon cemburu gak, ya, lihat kita berduaan di taman sekolah pagi-pagi, begini. Kita kayak pasangan kencan tahu, gak, sih?"

"Ngawur!" Kata gadis itu sewot, bibirnya mengerucut tanda malu. "Gak usah mancing, Bi. Lo jelas sadar sama perasaan gue selama ini, kan?"

"Iya, terus?" Tanya Bintang usil, "sekarang mau nyatain cinta, gitu?"

"Apaan, sih?!"

Mereka berdua saling melempar canda lalu tertawa, tak sadar dengan mata tajam dari siluet asing yang sedari tadi memperhatikan diam-diam. Selalu saja Bintang besikap bajingan, Langit heran mengapa sampai di akhir sakitnya, kakaknya- Rubby Mentari, masih terus menyimpan rasa dan memikirkannya.

Cih.

"Lo memang gak punya hati!" Tanpa basa-basi Langit menyerang, kedua sejoli itu terkejut dengan Langit yang tiba-tiba datang. "Lo masih aja gak peduli, padahal Ubby udah gak bisa bergerak lagi."

"Langit?"

"Kalian asik berduaan begini, tanpa mikirin dia yang lagi sakit. Setidaknya untuk terakhir kali, Kakak gue mau lo ada di sisinya, Bi."

"Langit, lo salah paham." Luna berusaha menjelaskan, "kita cuma bahas-"

"Cukup, Nad. Gak usah lo jelasin." Bintang menyela dengan nada dingin, Luna terlihat keheranan. "Gue sama Rubby udah mantan, jadi gak ada urusan."

Jahatnya ...

Hati Luna mencelos, tidak percaya kalimat jahat itu meluncur langsung dari mulut Bintang yang terkenal ramah. Walau ia menyukainya, sebagai sama-sama perempuan rasanya mendengar kalimat campakan tadi, sungguh menyakitkan.

"Gue udah capek, ya, Lang, dikait-kaitkan begini." Katanya bernada datar, "walau sementara, lo pikir gue bakal bahagia dengan nerima dia, kalo ujung-ujungnya dia bakal ninggalin juga?" Tangannya mengepal, menatap tajam Langit yang langsung bungkam.

"Dari SMP gue pacaran sama dia, dan gue baru tahu dia sakit sekarang..." Bintang terkekeh- tidak terima. Luna menatapnya lekat, rautnya memerah, tangannya terus saja mengepal. Luna membeku, mengapa hatinya terasa pilu. Untuk pertama kalinya, gadis itu melihat Bintang seemosional sekarang. "Saat gue masuk SMA, dia tiba-tiba mutusin hubungan. Satu tahun setelahnya, kami kembali satu sekolah tapi dengan sosoknya yang sama sekali gak gue kenal. Gue bener-bener marah saat tahu alesannya, karena ... dia mengidap sakit keras. Lang, Mentari-nya gue yang dulu itu, udah hilang dari beberapa tahun lalu."

Langit mengepalkan tangan- erat, kepalanya seakan ingin meledak mendengar semua omong kosong Bintang.

"Nyatanya, Rubby gak percaya gue, Lang." Katanya serak, Bintang terkekeh- lalu membuang pandangannya. "Jangan tanya, gue masih punya perasaan atau sebaliknya, tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Gue juga sama, gue juga menderita lihat seseorang yang gue sayang udah gak ada harapan." Dengan menggendeng Luna, Bintang beranjak meninggalkan Langit di taman.

Untuk sesaat, Langit tak bisa berpikir jernih, balasan dari mantan kekasih Kakaknya tersebut, membuat Langit semakin berpikiran buruk. Di sisi lain, Rubby tak memberinya celah, Langit stress dengan kondisi menyedihkan sang Kakak.

"Satu, lagi." Langit mendengarkan tanpa berbalik arah, "lo udah mulai kehilangan jati diri, lo selalu menyinggung apapun demi Rubby, lo gak sadar udah ngebohongin diri sendiri. Lo ... udah lama suka Nada, 'kan, Langit?" Matanya membola, hatinya berkedut nyeri saat dua sejoli itu beranjak pergi.

Benarkah sifatnya mulai menyimpang?

Bintang marah bukan karena Rubby- Kakaknya. Namun, karena ia cemburu melihat Luna tertawa tanpa ia penyebabnya?

Ia memanfaatkan kondisi Kakaknya?

Lalu, sejak kapan Langit mulai berani memikirkan dirinya sendiri?

Sejak kapan ia mulai iri hati?

Sejak kapan pria itu mulai memandang sekeliling penuh aura benci?

Selama ini waktunya tertahan, ia tak ada kesempatan untuk memikirkan hal lain kecuali Rubby- Kakaknya.

"Gue salah..." Gumamnya, netranya terlihat lelah karena beberapa hari ini Langit kurang istirahat. "Ubby, gue salah." Saat pria itu berbalik ingin beranjak, namun langkahnya tertahan, ada satu masalah lagi yang harus ia jelaskan.

Ahh, merepotkan. Akhirnya ketahuan.

Mengapa, sih, harus pria konyol ini, Tuhan?

"Ubby ... sakit keras?"

***

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang