17. Faded

2.6K 231 27
                                    

"Sayang.."

Pria yang sedang termenung itu mengerjap, sungguh mengenali suara sang Bunda saat memanggilnya penuh sayang, menunduk demi melihat kembali liontin di genggaman, Glenn menghela napas lalu menoleh dengan senyuman yang tak sehangat dulu ia tampilkan. "Iya, Ma. Kenapa?"

Nidha. Ibunda Glenn tersenyum sendu. Merasa tak mengenali putranya yang begitu ceria dulu, kini berubah layu. "Glenn udah mendingan?" tanya wanita cantik itu perhatian. Seminggu ini, Glenn memang mudah sekali lemah lalu berakhir akan sakit-sakitan. "Tadi Fanny mampir, kasihan loh pulang sekolah masih mau nyempetin datang ke rumah, tapi kenapa Glenn gak mau nemui dia, kalian lagi marahan?"

Glenn tak menjawab. Pria bermata minimalis itu kembali memutar tubuh, duduk di meja belajar yang menghadap ke arah kaca jendela. Jari-jari pria itu memainkan liontin berbandul huruf 'N' di genggamannya. Glenn meringis sesak, liontin couple ini adalah hadiah tiga tahun hari jadinya dulu bersama Neraca.

Ahh, Glenn sungguh merindukan wanitanya, Tuhan.

"Glenn.. kamu gak boleh kayak gini terus, sayang." Wanita matang itu mendekati Glenn, meringis saat netranya justru menangkap bingkai foto berpotret Neraca masih tersimpan rapi di meja belajar sang putra sematawayang. "Glenn harus jaga kesehatan, kata Fanny, Glenn nanti ada kampanye untuk pemilihan ketua Osis minggu depan 'kan?"

Nidha sedikit menundukan pandangan, menyentuh bingkai berpotret Glenn dan Neraca. "Neraca.. pindah kota?" jari-jari Glenn berhenti bergerak, Nidha mengulas senyuman lalu mengusap sayang kepala putranya. "Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri karena takdir, sayang. Mama gak mau Glenn hilang arah, mengutuk Tuhan dan beranggapan bahwa selama ini telah dipermainkan."

Bibir Glenn masih tertutup rapat. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar menimpali ucapan sang Bunda yang memang benar adanya. "Si Ner akan baik-baik aja." Nidha kembali tersenyum saat Glenn mendongak- membalas tatapannya. "Gak perlu ada yang disalahkan dalam kandasnya hubungan kalian. Rencana Tuhan untuk Glenn saat ini jelas yang terbaik, sayang."

"Aku berkhianat, Ma." Glenn tersenyum kecut, menelan saliva lalu menunduk. "Jelas aku yang bersalah."

"Aku nyakitin dia. Aku pecundang yang tega bermain cinta di belakang Neraca." Bibir pucat Glenn gemeteran, pandangannya pun seketika saja buram jika mengingat begitu brengseknya dulu dirinya kepada sang pujaan. "Aku udah buat Ner gila dengan hancurin semua harapannya.." tangannya mengepal kuat, kuku-kuku Glenn memutih dengan sendirinya. "Aku juga ingkar janji, memilih Fanny dan biarin Ner menderita sendiri."

Glenn menunduk dalam, netranya ia pejamkan demi menahan sesak yang melanda. Sungguh.. saat ini, Glenn benar-benar merasa dirinya tidak berguna lagi. "Aku-"

"Sayang.." Nidha memeluk kepala putranya erat, Glenn perlahan terisak lalu balas memeluk pinggang sang Bunda. Glenn menangis pilu, Nidha meringis sesak seraya mengecupi pucuk kepala Glenn berulang-ulang. "Jangan menyalahkan diri sendiri begini. Mama gak suka."

Glenn semakin histeris. Rasa bersalahnya kepada Neraca membuatnya nyaris mati. "Dengerin Mama, Glenn harus lupakan sejenak beban kamu, sayang." Nidha mengangkat wajah Glenn perlahan, jari-jari lentiknya mengusap air mata Glenn yang terus saja berjatuhan. "Glenn itu hanya perlu liburan."

Glenn berkedip, Nidha tersenyum hangat seraya mengusap hidung putranya yang sedikit memerah, Glenn menarik napas mencoba meredam isakan. "Liburan?"

"Iya." Kata wanita itu riang, Glenn diam memperhatikan. "Mama punya kejutan. Papa hari ini pulang, dan ayo kita liburan bersama."

Glenn kembali mengalihkan atensinya ke meja belajar, ia menatap sendu benda kenangannya tersebut. Mungkin.. benar yang diucapkan sang Bunda, Glenn hanya perlu sedikit hiburan.

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang