29. Are You Listening

1.6K 162 7
                                    

Playlist;

Hwang_Chi_Yeul_–_듣고_있니_Are_You_Listening

Are you listening to my spilling tears?
Are you listening to my heart that I can’t endure?
I’m trying to get through another day
Love is crying each day
If you’re under the same sky, are you listening right now?

***

Dulu Neraca terasa nyata, sebab gadis itu masih dimiliki Glenn sepenuhnya.

Dulu tanpa kata pun, Neraca mampu mendengar dari jarak yang bahkan mustahil ditemukan. Tapi kini, untuk berdiri dalam satu pijakan saja, mengapa terasa menyulitkan?

Dulu begitu mudah menjangkau seluruh dimensi darinya. Tawanya, sikapnya, wujudnya, seluruh raganya hanya untuk Glenn seorang saja. Namun, kini gadis yang selalu melihat dengan matanya yang binar itu seolah enggan walau mereka tak sengaja berpapasan di kejauhan.

Glenn menjijikkan. Terlihat menyedihkan.

Apa Neraca sudah tidak mampu mendengar suara hatinya?

Apa Glenn tak berhak meminta satu lagi kesempatan?

Apa Glenn sudah tidak ada dalam memori kebahagian?

Apa ... Neraca sudah benar-benar mematikan semua kenangan?

Katakan ... Ner, bahkan hanya sekali saja. Apa benar ia sudah tak mampu mendengar dan merasakan hatinya lagi, hati yang kadang mengingat bahkan mungkin merindukan.

***

"Yayang, kok lama, ya?"

Samudra menoleh, memperhatikan Damai yang sudah kembali aktif mengutak-atik ponselnya. "Dari gerbang ke kelas gue butuh berapa lama sih emang?"

"Kenapa?" Cakra menyahut sambil merangkul bahu sang sahabat, "udah kangen berat ya, masnya?"

"Ba-cot!" Samudra serta Nilon terkekeh melihat interaksi heboh dari kedua cowok receh itu, "lo tahu apa sih tentang kangen, lo kan jombelo."

"Congor lo, ya." Dengan gemas Cakra menampol mulut Damai, pria itu cengengesan. "Gak usah sok asik deh, gue masih sebel ya, bisa-bisanya kalian semua menusuk gue dari belakang. Kejam!"

"YEEEEEEEEEEE!!"

Mereka bersorak kompak lalu tertawa, Cakra yang memasang wajah pura-pura ngambek pun goyah, pria itu lalu terkekeh kecil di sana. Semarah apapun dengan alasan tertentu, Cakra rasanya tidak bisa berlama-lama memasang mode musuh. Ahh, mengapa sih persahabatan ini tidak adil. Padahal kemarin mereka semua telah menjual harga dirinya kepada si gadis perkasa. Di mana coba tadi gengsi dan harga dirinya yang berapi-api?

Aishh...

"Gue mau nyusulin Yayang dulu." Damai bergegas keluar kelas, merasa ada kaki lain yang hendak mengikuti, Damai berhenti. "Bapak mau pacaran, para jomblo harap jangan ngusik. Gue tampol yang masih ngeyel ngikutin. Bye."

"Hilih!"

Mereka semua protes kesal, akhir-akhir ini Damai memang sok manis ingin pacaran tanpa mau ditemani. Sahabatnya mulai uring-uringan, merasa Damai ingin mencoba mencampakannya.

"... padahal gue mau lihat Er-" Segera tersadar, Nilon berkedip lalu menggaruk tengkuk saat Samudra dan Cakra memperhatikan diiringi dengan senyum creepy-nya. Nilon pura-pura melihat arlojinya, "gue ... mau ketemu Luna. Bye."

Masih terus tersenyum seram, Samudra-Cakra lalu terkekeh keras saat Nilon mulai ngebirit lari demi menghindari pantauan dari sang sahabat. Ahh, Nilon memang yang paling brengsek di antara mereka bertiga.

"Playboy cap kaki tiga."

"Lo kira Nilon larutan."

Meninggalkan Samudra-Cakra yang mulai bersitegang, Damai menyusuri lorong kelas sambil bersiul riang, pria itu bahkan sesekali berkedip genit saat netranya berpapasan dengan para bucai.

Namun, saat menoleh ke sisi lapangan dekat parkiran, Damai terpaku saat melihat punggung yang ia kenali. Netranya terbuka lebar, mengapa ... Glenn bisa berada di sekitar sekolahnya?

Mengepalkan kedua tangan, Damai segera berlari kesetanan saat dalam waktu bersamaan ia menangkap sosok yang tadi ia tunggu-tunggu. Neraca ... apa mereka berdua sudah kembali bertemu?

"Nang!"

Neraca yang hendak masuk mobil tertahan, gadis itu menoleh- terkaget saat sang tunangan sudah berdiri di hadapannya sambil berusaha mengatur napas. "Da-mai?"

"Kamu mau ke mana?" Tanya pria itu penuh kekhawatiran, Damai masih ngos-ngosan. "Aku nunggu kamu. Ayo sarapan bareng."

Netranya memanas, Neraca menggigit bibir kuat menahan sesak yang tiba-tiba menghimpit dada. Rasanya ... menyakitkan. Kehangatan semua ini semu, Damai itu ... ternyata palsu.

Menghempaskan tangannya kuat, Neraca berbalik spontan membuat Damai tertegun dalam sesaat. "Aku mau pulang."

"Hah?" Neraca yang hendak membuka kembali pintu mobil, lagi-lagi ditahan. Damai mulai memasang wajah seriusnya. "Kamu ... gak apa-apa, 'kan?"

Neraca tersenyum kosong, "kamu ... tadi gak ketemu seseorang, 'kan?" Kembali menghadap Damai sepenuhnya. Neraca terkekeh sesak. "Siapa?" Damai berkedip lalu mundur selangkah, mengapa aura Neraca terlihat sama seperti waktu mereka pertama kali bertemu. "Memangnya ... aku kenapa?"

"Aneh." Damai berkata jujur, tatapannya mengunci Neraca yang berusaha menyembunyikan sesuatu, "kamu berubah, apa aku buat salah?"

Neraca tiba-tiba tertawa sambil mengusap sudut matanya. Damai berkedip, Neraca ... menangis?

"Kamu berlebihan, Damai. Aku gak ketemu siapa-siapa. Aku cuma lagi gak enak badan aja." Segera mengecek suhu tubuhnya, Damai menghela napas. Bodoh. Mengapa pria itu menunjukkan reaksi yang mencurigakan.

"Bener. Kamu demam." Neraca hanya tersenyum- meng-iya-kan. "Perlu aku antar?" Gadis itu menggeleng, Damai tersenyum lalu mengacak surai Neraca penuh sayang. "Kalo gitu, hati-hati. Telepon aku kalo udah sampai rumah, oke?"

Damai membukakan kembali pintu mobil agar tunangannya segera beranjak, Neraca tersenyum saat pintu itu menutup. Damai terus memandanginya, Neraca ... mulai muak. "Oya, mana sarapan aku?"

Sengiran itu muncul diiringi tangan yang mengadah, Neraca mematikan tatapannya. "Makanannya aku jatuhin." Tak kuat lagi, Neraca tiba-tiba menangis membuat Damai terkejut bukan main.

"Kamu kenapa?" Membalik tubuh rapuh itu segera, Damai segera memeluk kepala Neraca dalam mobil- mencoba menenangkan. "Apa yang sakit bilang samaku, yang mana?"

Neraca memegang dadanya, tak mampu lagi berkata. "Kalo kamu nangis gara-gara gak sengaja jatuhin makanan, aku gak apa-apa sayang, aku bisa beli di kantin." Mengelus surainya pelan, Damai kembali menghela napas sambil menepuk punggungnya. Mengapa ... hari ini Neraca sensitif sekali?

"Udah gak apa-apa, aku baik-baik aja."

***

Beberapa hari kemudian...

Nyatanya memang ada yang salah, Damai merasa Neraca mencoba menjaga jarak. Gadis itu terang-terangan menjauhinya, lalu seperti yang dilakukan akhir-akhir ini, mereka akan bertengkar dengan alasan yang sama sekali Damai tak ketahui.

Damai galau. Hatinya kembali kosong.

Damai beranjak lalu membuka jendelanya, di panggilan keenam belas, pria itu berdecak lalu menggenggam ponselnya kuat. Tidak salah lagi, Neraca pasti sudah bertemu Glenn kembali.

Ahh...

"Padahal ... akhirnya gue bikin gak mau kayak gini." Matanya menyalang, menyorot seseorang yang sedang termenung di atas kasurnya. Dari sini, Damai dengan jelas memperhatikan Neraca yang sedang melamun. Apa dia tuli tak mendengar panggilan dari ponselnya itu. Sungguh, hal ini membuat Damai kesal. "Ahh, shit. Menyebalkan."

***

Am I ? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang