Sakit.
Saat ini Grace berkeringat dingin, berusaha bertahan dari rasa perih yang tidak bisa dijelaskannya. Perutnya mual, kepalanya pusing, dan ujung jarinya bergetar tanpa henti. Snape sama sekali tidak main-main ketika dia memberitahu kalau ramuan ini berbahaya. Di tengah-tengah sensasi nyeri yang menguasai tubuh Grace, Grace menyadari kalau semakin sulit baginya untuk bernapas. Napasnya tersenggal-senggal, dan di helaan napas terakhir sebelum tenggorokkannya terasa terbakar, dia sempat membuka matanya, melihat sekilas wajah Profesor yang dikaguminya untuk terakhir kalinya.
Pandangan Grace setengah buram dan tidak fokus. Samar-samar Grace bisa melihat Snape yang sedang merangkulnya erat, dengan mulut yang setengah terbuka. Rambut hitam kelamnya hampir menutupi setengah wajahnya, namun di balik surai rambut pria itu, ada kemarahan dan ketakutan yang bercampur aduk di wajahnya. Snape terlihat begitu menyedihkan. Meskipun ini bukan pertama kali Snape tanpa sengaja memperlihatkan sisi rapuhnya kepada Grace, kali ini untuk pertama kalinya, Snape terlihat benar-benar hancur sehancur-hancurnya.
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Grace untuk melihat Snape yang menahan tangisnya. Grace ingin menghibur pria malang itu. Grace ingin mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja, namun semakin lama suara dengungan di kepalanya semakin kencang, dan Grace tahu ini saatnya untuk pergi. Ah, mungkin, bila Grace diberi kesempatan terakhir untuk hidup, tidak ada yang lebih diinginkannya daripada memeluk pria itu untuk menenangkannya dan berbisik,
"Ini semua bukan salahmu."
...
Seperti mimpi buruk yang baru usai, Grace menarik napasnya. Tenang dan gelap, tanpa gangguan sedikit pun. Hening, namun entah kenapa tidak membuatnya bergidik ngeri. Grace lupa kapan dia terakhir kali merasakan sedamai ini. Tubuhnya terasa ringan dan walaupun Grace menyadari kalau dia perlahan mulai kehilangan hidupnya, Grace merasa sama sekali tidak keberatan. Bila ini adalah akhir yang harus diterimanya, maka terjadilah. Setidaknya sampai Grace mendengar suara yang terdengar lembut sekaligus jail membangunkannya. Suara James.
"Hei, kau seharusnya tidak boleh menyerah begitu saja, Lils'. Di mana jiwa berapi-apimu itu?"
Seketika Grace langsung membuka matanya. Setangkai bunga yang terhembus angin melayang di hadapan Grace, lalu jatuh tepat di kedua telapak tangannya, sebelum bermekaran ketika jemarinya menyentuh kuncup bunga tersebut.
James kemudian berjalan mendekati Grace. Senyuman James masih terlihat manis dan licik, persis sesuai ingatan Grace sebelumnya. Seakan-akan waktu seakan-akan terhenti bagi pria tersebut. Grace baru saja ingin mengatakan sesuatu kepada James, tetapi sosok James tiba-tiba menghilang begitu saja di depannya. Kilasan memori mulai bermunculan satu persatu di dalam diri Grace. Padang rumput berganti menjadi kamarnya, pepohonan menjadi tumpukan buku dan perkamen, serta tanaman-tanaman liar berubah menjadi lantai bebatuan. Grace mengamati sekelilingnya. Perapian di asrama Gryffindor masih menyala. Samar-samar Grace mendengar suara Snape yang memohonnya untuk memaafkannya dari luar. Grace belum tahu jelas apa yang terjadi, namun dia merasa ada kesedihan yang melanda dirinya.
Saat itu Grace melihat dirinya sendiri sebagai Lily, dengan mata hijaunya yang sembab sehabis menangis. Ini tahun kelima Lily sebagai murid di Hogwarts. Grace mendengar suara Snape lewat pintu kayu yang membatasi mereka. Suara Snape terdengar putus asa, seperti seorang pria sekarat yang berusaha mempertahankan harapan terakhirnya.
Grace hanya bisa terdiam ketika dia melihat Lily membuka pintu asramanya. Snape, di tubuh seorang remaja laki-laki yang terlihat kurus dan lemah itu langsung terlihat kaget, buru-buru berlutut untuk meminta maaf di hadapan Lily.
"Lily, aku mohon, demi apapun di dunia ini, maafkan aku," Snape menarik napasnya, segala ketakutan terpancar di kedua mata kelamnya. "Sumpah, aku sendiri tidak tahu kenapa... kenapa saat itu aku memanggilmu dengan... dengan sebutan itu! Seharusnya aku tidak pernah mengucapkan kata terkutuk itu. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaaanmu Lily. Oh Lily, Lily, Lily, aku mohon, maafkan aku."
Lily hanya menarik napasnya. Lily tidak memarahi atau berteriak di hadapan Snape, sama sekali tidak sedikitpun kemarahan yang terlukis dari wajahnya. Lily hanya diam, berdiri di sana, dan tersenyum. "Sev," panggil Lily lembut, meskipun suaranya setengah serak, terdengar lelah setelah seharian menangis. "Kau harus kembali ke asramamu."
Snape mendongakkan kepalanya. Ketika dia melihat wajah Lily yang terlihat pasrah dengan kedua mata hijau sembabnya, Snape tahu kalau dia sudah mengacaukan semua ini. Kedua tangan Snape yang gemetar ketakutan berusaha meraih tangan Lily, mencari kehangatan yang tersisa untuknya dari Lily. "Lily, apa kau masih marah denganku? Kau boleh memukulku. Tidak, lebih tepatnya, pukul aku sekarang kalau itu membuatmu puas. Demi Merlin, aku mohon, kau bisa memukulku sebanyak yang kau mau, kapanpun kau mau, asalkan kau memaafkanku. Aku mohon, kau bisa melakukan apapun, apapun yang kau mau kepadaku, Lily!"
Snape baru berhenti memohon ketika dia melihat air mata yang menetes di pipi kiri wanita yang dicintainya itu. Jantungnya seketika berhenti dan di saat itu juga, tidak ada yang lebih dibenci oleh seorang Snape daripada dirinya sendiri.
"Sev, aku tidak membencimu karena kau memanggilku mudblood. Entahlah, Severus, di dunia magis, aku merasa aku bukan sepenuhnya penyihir karena keturunanku. Di dunia Muggle, aku pun tidak seperti para Muggle yang hidup dengan normal. Kau, teman kecilku, seharusnya mengerti itu lebih dari siapapun. Aku... aku hanya ingin merasa sebagai bagian dari sesuatu." Lily menelan ludahnya, berusaha menahan isakannya, sebelum membalikkan badannya dan memunggungi Snape. Lily tahu, kalau dia menatap wajah Snape, segala tekad yang telah dikumpulkannya pasti akan lenyap begitu saja. "Aku juga tahu ambisimu menjadi Death Eaters, dan aku tak bisa lagi untuk pura-pura tidak tahu."
"Kalau boleh jujur, lebih dari apapun aku hanya kecewa padamu, Severus."
Snape berusaha untuk memohon sekali lagi, namun tidak ada satu pun kata yang keluar dari tenggorokkannya. Segala yang diucapkan Lily kepadanya sepenuhnya benar. Snape bahkan tidak bisa mengelak atas pernyataan Lily yang menyakitkan itu. Kenyataan pahitnya, Snape memang mulai tertarik pada Dark Art serta Death Eaters, dan kalau boleh jujur, Snape sangat memiliki potensi yang besar di bidang itu. Snape membenci dirinya yang lemah, yang tidak bisa berkutik ketika James dan ketiga teman bodohnya itu menjahilinya. Snape hanya ingin terlihat berkarisma di depan Lily, ingin menjadi sosok yang dihormati dan ditakuti oleh orang-orang ketika dia berjalan di lorong, dan yang paling diinginkannya adalah untuk menjadi seseorang seperti James.
James, murid populer yang berhasil merampas perhatian Lily darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...