"Sepertinya kau ada di dalam masalah, Potter." Snape melipat kedua tangannya sambil menatap tajam Grace, mencoba untuk menebak apa yang baru saja terjadi kepada Grace. Tubuh tingginya yang kaku tersebut masih bersandar di salah satu pilar di lorong. Snape sempat berusaha untuk tidak menghiraukan aura Grace yang murung, seperti yang biasa dilakukan Snape kepada murid-muridnya yang lain. Dia saja terlalu lelah untuk mengurusi masalahnya sendiri, jadi untuk apa susah payah mengurusi masalah orang lain?
Namun, terlepas dari sifat ketidakpeduliannya dan suasana canggung setelah perdebatan kecil mereka di ruang kantor pribadinya, Snape tidak bisa berhenti untuk bersikap peduli terhadap gadis kecil yang keras kepala itu. Tentu, Snape sudah beribu kali mengingatkan dirinya kalau fisik hanya fisik, dan penampian Grace yang mirip dengan Lily hanya sekedar penampilan belaka. Snape bukan tipe orang yang akan terpengaruh dengan kecantikkan wanita, tidak seperti para remaja Gryffindor yang hampir setiap minggu membuat masalah di Hogwarts demi menarik perhatian wanita idaman mereka. Penampilan hanya akan sebagai penampilan, dan tidak ada sepasang mata pun di muka bumi ini yang dapat menggoyahkan hatinya seperti apa yang dilakukan dengan tatapan mata hijau Lily ketika gadis berambut merah itu tersenyum kepadanya.
Snape seketika menyesali keputusannya menjadi tukang ikut campur tersebut. Dia benci untuk terdengar seperti Dumbledore yang suka mengurusi masalah orang lain. Oh, Merlin, mungkin ini saatnya bagi Snape untuk berhenti menerima tawaran Dumbledore untuk minum teh dan mencicipi manisan bersamanya. Lihat saja, cepat atau lambat efek ramah Dumbledore akan meresap ke dalam jiwa kelamnya.
Grace menarik napasnya. Hari ini adalah hari yang berat. Semuanya seakan-akan hancur. Bagaimana dengan Woody? Apa yang harus dilakukannya? Belum lagi tentang Hermione. Atau pertemanannya dengan Harry dan Ron yang tanpa sadar semakin renggang. Ah, juga tentang jangka waktu hidupnya yang sebentar lagi. Dan ramuan. Dan James dan Lily. Dan Snape. Severus.
Tanpa sadar, pipi Grace basah. Grace hanya menatap kosong tetesan air mata yang jatuh ke telapak tangannya. Saat ini dia sedang menangis, namun di saat yang bersamaan dia tidak merasakan apa-apa di dalam dirinya. Hampa. Hari ini seperti hari-hari biasa Grace. Ceria dan bahagia, dengan sedikit pilu, tapi hari ini serasa jauh lebih menyedihkan.
Baru ketika Grace mengangkat kepalanya dan melihat ekspresi Snape yang sulit ditebak itu, Grace perlahan kembali merasakan sesak di dadanya. Grace mengedipkan matanya berkali-kali untuk menahan tangisnya, namun usahanya tersebut malah membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Semuanya terasa gagal dan hancur di hari itu.
Snape bingung. Tentu saja menenangkan murid yang sedang menangis bukan bidang ahlinya, apalagi urusannya. Snape masih diam dan membatu, sampai akhirnya ketika Grace menatapnya dengan ratapan yang menyedihkan itu, tanpa sadar tangan Snape yang dingin tersebut bergerak semaunya, hampir menyentuh pundak Grace yang terlihat rapuh, namun berhenti di tengah-tengah.
Tidak. Snape, Severus Tobias Snape tidak akan kembali kehilangan kontrol atas dirinya.
Ratapan Grace masih tertuju ke arah Snape, sedangkan Snape menatap tangannya yang hampir menyentuh pundak Grace tersebut dengan jijik dengan napas yang terengah-engah. Bayangan Lily yang sedang berteriak meminta tolong kepadanya melintas begitu saja di kepalanya, tepat sepersekian detik sebelum jemarinya menyentuh Grace.
Fokus. Snape memejamkan matanya sejenak dan mengepalkan erat tangannya. Detak jantungnya semakin kencang dan pikirannya semakin penuh. Seakan-akan mimpi buruknya perlahan keluar dari kepalanya dan muncul di hadapannya. Bayangan Lily semakin menjadi-jadi, diikuti bayangan para korbannya yang lain, yang meminta tolong, menjerit kesakitan, dan semuanya tidak pernah berhenti, sampai—
'Jangan sekalipun kau pernah berpikir kalau kau tak berdosa, Severus.' Suara tersebut mendesis kasar, memenuhi kepala Snape dan berputar-putar di dalamnya. Suara tawa Voldemort kemudian ikut terngiang-ngiang, dan Snape merasa semakin sulit untuk bernapas. Ketakutannya semakin liar dan menjadi-jadi, sampai pada titik di mana Snape tidak tahu lagi apakah itu bayangannya atau bukan.
"Professor?" napas Grace, bingung apa yang harus dilakukannya ketika melihat sisi Snape yang begitu rapuhnya. Grace secepat kilat menggenggam bagian lengah jubah Snape, seakan-akan takut pria itu kehilangan dirinya sendiri karena ditelan mimpi buruknya. Secara refleks, Snape mencengkram erat pundak Grace, mendorongnya ke salah satu pilar bebatuan di lorong Hogwarts.
Cengkraman kuat Snape di pundak Grace yang ringkih membuat Grace meringis kesakitan. Snape tidak main-main. Napas pria itu masih kasar. Ada keringat dingin yang bercucuran di dahinya. Bibirnya bergetar. Melihat ekspresi Snape yang dipenuhi teror membuat Grace kehilangan kata-katanya. Apa yang harus dilakukannya?
"Jangan," napas Snape, setengah berteriak dan memelas. Jemarinya masih gemetar hebat. Kedua mata hitam Snape seakan-akan mencari jejak-jejak ketakutannya di wajah Grace. "Sekali-kali menyentuhku."
Snape melepas cengkramannya dari Grace. Punggungnya masih bergetar dan Snape tanpa sadar masih mendesis ketakutan. Semakin lama rasanya semakin berat beban yang harus dipikulnya. Berkali-kali Snape berusaha untuk mengakhiri semua ini, setidaknya untuk kabur dari segala bayang-bayang penderitaannya sejenak, namun setiap kali wajah Lily akan terbesit di benaknya dan menggagalkan segala usahanya. Masih ada yang harus dikerjakannya. Masih ada yang harus ditebus dari seorang Snape.
Dan Grace, di lain sisi, hanya bisa diam melihat Snape yang pergi menjauh darinya. Rasanya, satu persatu yang dia punya perlahan pergi darinya.
...
Halo!
Mohon kembali diingat kalau ini hanya sekedar fiksi. Jadi, bila kalian yang sedang mengalami kegagalan, jangan menyerah! Semua orang pasti gagal. Bersedih itu tidak apa, namun secukupnya saja HEHE.
"He who knows enough is enough, will always have enough." Lao Tzu :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...