Tidak. Kalau dipikir-pikir lagi, Snape tak mungkin tak membenciku.
Tepat jam delapan, Grace berjalan bolak-balik di depan ruangan Snape—memikirkan apa harus kabur atau tetap menjalani detensinya itu. Dia bisa saja kabur atau melaporkan hal ini kepada Dumbledore, tapi sebagian besar dari dirinya entah kenapa memilih untuk tidak. Baginya, mungkin detensi dari Snape tak seburuk dengan, setidaknya apa yang dikatakan oleh Wood dan kembar Weasley itu. Mungkin.
Hinaan Snape yang ditujukkan dirinya pada hari pertama masih mengiang-ngiang di kepalanya. Seharusnya dia membencinya. Seharusnya. Aneh. Entah kenapa sesuatu di dalam diri Snape seakan-akan membuatnya lupa akan semua sarkasmenya dan hinaannya, hanya meninggalkannya dengan perasaan nostalgia yang meluap-luap dan nyaman ketika berada di dekatnya.
"Tepat waktu, Potter?" suara berat Snape yang tiba-tiba itu membuyarkan lamunannya. Grace mengalihkan pandangannya dari lantai sebelum berjalan terlebih dahulu.
Grace mengikuti Snape di belakangnya, tak berani untuk mengeluarkan suara sedikitpun. Sesekali, dia menyempatkan dirinya sendiri untuk menatap punggung Snape yang lebar. Tak ada satupun dari mereka yang mengatakan sesuatu.
Perlahan mereka menuju ke pintu keluar Hogwarts dan Grace semakin tak tahan untuk memulai percakapan diantara mereka. Setidaknya, mungkin ini salah satu kesempatannya untuk mendekatkan diri ke profesor yang sinis itu.
"Prof', su-sudah lama bekerja di Hogwarts?" percobaan Grace dalam memulai pembicaraan-yang-seharusnya-menyenangkan sepertinya langsung gagal.
Snape lagi-lagi hanya menyempatkan dirinya untuk melirik Grace dari sudut kanan matanya, menyindir. "Bukankah hal itu sama sekali tak penting bagimu, Potter?" Tentu dia tahu kalau tak ada seorangpun disana selain mereka.
"Bila aku menjadi dirimu, setidaknya aku akan memlih pertanyaan yang pantas untuk ditanyakan dibanding dengan yang tidak."
Grace menelan ludahnya. Tahu jelas akan sifat Snape, dia bahkan bingung kenapa dirinya bahkan mencoba untuk memulai percakapan di antara mereka.
Kini mereka berdua sudah berada di luar kawasan Hogwarts, menuju ke arah Hutan Terlarang. Semakin lama, Grace semakin merasa bulu kuduknya berdiri. Suasananya terlalu mencekam baginya.
Dingin. Ditambah dengan semua yang dia lihat tak lebih dari sebuah gubuk kecil dan selain itu, semuanya rerumputan dan pepohonan. Gelap.
Apalagi, Snape dengan jubah hitam kesukaannya itu. Dirinya seakan-akan berkamuflase di antara salah satu pepohonan yang menjulang tinggi. Grace bahkan harus mengernyitkan matanya beberapa kali untuk berhasil menemukan keberadaannya, yang sebenarnya hanya berjarak kira-kira satu meter darinya.
Grace kemudian melirik ke arah gubuk yang tepat di depan kawasan Hutan Terlarang itu, dan tak lama kemudian dia melihat seseorang bertubuh besar keluar, berhasil membuatnya melompat kecil karena kaget.
"Ah, Hagrid," Grace menghela nafasnya lega saat dia mengenali sosok pria besar itu.
"Heiya' Grace, Severus," ucapnya ramah kepada mereka berdua. Tangannya memegang lampion kecil, satu-satunya sumber cahaya di sana. "Kalian mau kemana?"
"Seperti biasa," gumam Snape dengan malasnya. "Detensi."
Mulut Hagrid terbuka, membentuk huruf O. "Blimey, Severus! Kau mau mengajak dia ke Hutan Terlarang untuk detensi? Demi Merlin! Kukira kau sudah meniadakan detensi itu, Severus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...