Sayup-sayup suara Madam Pomrey terdengar. Grace masih terlalu lemah untuk menggerakkan tubuhnya, tetapi sedikit demi sedikit, dia kembali sadar.
"Aku rasa," Madam Pomfrey menghela napas. "Semakin lama waktunya semakin dekat,"
"Omong kosong!" Grace bisa mendengar desisan Snape dan langkah kakinya yang cepat. Snape selalu melakukan itu setiap kali dia merasa panik. "Dia terlihat baik-baik saja sebelumnya. Bocah yang sama menyebalkannya, sama bodohnya! Bagaimana ini bisa terjadi, apalagi tanpa alasan apapun?"
Untuk beberapa saat, Grace sama sekali tidak mendengar satupun kata dari mereka berdua. Paling tidak, yang terdengar hanya hembusan napas kasar dari Snape, dan sesekali suara tertahan dari Madam Pomfrey.
Kemudian Grace samar-samar mendengar Madam Pomfrey menjawab pertanyaan Snape dengan hati-hati. Sepertinya dia sedang berbisik. "Kau... kau ingat saat Troll memukulnya? Tubuhnya seharusnnya sudah hancur. Bahkan sebelum kau sempat memberikan ramuan langka itu pada Grace, seharusnya dari awal, tubuhnya sudah hancur."
Seketika kepala Grace kembali sakit. Tertusuk-tusuk.
...
"Aku rasa Madam, waktuku sudah tak lama lagi."
Saat itu, Grace sudah terbangun dan disambut hangat oleh Madam Pomfrey. Tetapi setelah pernyataan tersebut keluar dari mulut Grace, ekspresi Madam Pomfrey langsung berubah seketika.
"Kenapa kau berpikir seperti itu, Sayang?" ucap Madam Pomfrey, jelas-jelas memaksakan tawanya. Setiap katanya terdengar kaku di telinga Grace. "Aku yakin kau akan baik-baik saja, Grace."
Grace tahu kalau Madam Pomfrey benar-benar payah dalam urusan berbohong. Ini bukan pertama kalinya Madam Pomfrey berbohong akan kondisinya, malah mungkin ini sudah keseribu kalinya. Grace menghargai usaha Madam Pomfrey untuk menghiburnya, tetapi dia rasa, saat ini yang dia butuhkan adalah suatu kepastian.
"Madam Pomfrey," panggil Grace, tersenyum pahit. "Aku sudah tahu waktuku hanya sebentar lagi. Aku hanya perlu tahu, berapa lama lagi aku akan hidup, Madam?"
...
"Omong kosong!" suara Snape menggelegar. Keras. Jelas kalau dia marah, dan jelas kalau saat ini, emosinya meledak-ledak—tak tertahan.
Dumbledore sama sekali tak berusaha untuk menenangkan perasaan Snape. Dia tahu usahanya akan sia-sia. Malah, Dumbledore hanya terdiam, merenung. "Ini yang terbaik." Dumbledore tetap kuat pada pendiriannya, tak mau menyerah kepada amarah Snape. "Untuk Grace dan Harry, ini yang terbaik."
Mereka berdua sama-sama bisu. Hening. Snape menatap Dumbledore dengan intens. Perang dingin sudah dimulai di antara mereka berdua.
"Jadi kau, Albus," Snape merendahkan suaranya. "Kau rela mempertaruhkan nyawa bocah itu... Grace Potter?"
Dumbledore seketika beranjak dari tempatnya. Sikapnya tetap tenang seperti biasa, namun ada yang berbeda dari sorotan matanya. "Aku tak pernah mengatakan itu, Severus."
"Demi Merlin, Albus!" hardik Snape. "Kau menyuruhku untuk memenuhi permintaannya—membuatkannya ramuan Draught of Living Death! Apa yang kau harapkan lagi, selain kematiannya?"
Beberapa detik berlalu, sebelum Snape kembali sadar atas perlakuannya pada Dumbledore. Dumbledore adalah seniornya, dan tak pernah sekalipun Snape berlaku kasar seperti ini di hadapannya. Dia mulai kehilangan rasa hormatnya untuk Dumbledore, perlahan tapi pasti.
"Kau tahu Severus, aku tak pernah menginginkan kematiannya." Dumbledore memberatkan suaranya, pertanda kalau dia benar-benar serius. "Aku hanya merasa kalau Draught of Living Death akan membantunya bertemu James, dan mungkin dia dapat membantu kita... untuk memahami apa yang akan terjadi saat ini. Itu yang menjadi harapanku. Severus, Voldemort sudah bangkit. Kita tak punya waktu untuk disia-siakan. Dan aku yakin, James akan membantu kita dalam mengalahkan Voldemort. Membantu Harry."
"Ada harga yang harus dibayar untuk permintaan egoismu, Albus." sela Snape, rahangnya mengeras. Matanya berapi-api. Tangannya terkepal. "Yaitu sebuah nyawa dari bocah yang sama sekali—"
Mendengar ini, Albus sedikit tertegun, lalu memotong pembicaraan Snape. Dumbledore tak pernah membayangkan kalau Snape akan seemosional ini. Meskipun, mungkin, wajah Grace mengingatkan Snape pada segala penyesalan dan cinta lamanya pada Lily. "Severus, jangan bilang kalau kau... kau merasa peduli terhadap gadis kecil itu—Grace?"
Snape mau menjawab. Dia mau berteriak, mengeluarkan segala amarah dan emosinya, tetapi yang keluar dari mulutnya hanya sebuah kebingungan. Kebisuan. Kenapa, lebih tepatnya, dia peduli?
Seharusnya yang dia pedulikan hanya janji terakhirnya pada Lily, untuk melindungi Harry, tak lebih.
...
Ada rahasia kecil di antara mereka berdua. Di antara Dumbledore dan Snape. Kalau Grace sebenarnya bukan buah hati dari James maupun Lily. Anak yang muncul entah darimana dan menghilang entah kemana, yang kebetulan saja persis dengan Lily. Itu yang dikatakan Dumbledore, tepat saat Grace kehilangan kesadarannya. Sebelum Snape meledak-ledak di hadapan Dumbledore, marah karena Dumbledore ingin menggunakan Grace sebagai umpan dalam perangnya melawan Voldemort.
Tentu saja, mereka berdua pernah berusaha untuk menelusuri asal usul gadis misterius itu. Bertanya kesini kemari, bahkan menggunakan beberapa mantera sebagai jalan terakhir. Tapi semua itu nihil—tak ada hasil. Kemiripannya dengan Lily membuat mereka berdua sempat menebak kalau Grace memang benar-benar anak Lily, tetapi terlalu rancu. Harry adalah anak tunggal. Dumbledore sempat mengunjungi Lily dan James ketika Harry lahir di dunia ini. Sama sekali tak ada tanda-tanda kehamilan anak yang lain, maupun kehadiran kembar. Hanya Harry.
Grace hanya sekedar bocah yang tak ada riwayat di dunia ini. Yang disuruh percaya kalau dia adalah saudara dari Harry. Hanya karena Dumbledore tak mau menyakiti perasaan Snape yang rapuh; tak mau Snape menghabiskan malam-malamnya untuk merenung, dan membayangkan kalau Grace adalah reikarnasi Lily. Dumbledore tidak tega untuk membiarkan Snape terlalu dalam dengan perasaannya. Karena Dumbledore tahu, cepat atau lambat, Grace akan menghilang. Sebagaimana Grace muncul, dia akan pergi tanpa jejak.
Dan Dumbledore tak lagi mau melihat lelaki itu hidup, dengan harapannya yang direnggut untuk kedua kalinya.
...
"Baiklah," Snape menyilangkan tangannya, sementara Grace masih terkejut dengan kedatangannya ke Ruang Kesehatan yang tiba-tiba. "Aku akan menyanggupi permintaan bodohmu itu. Untuk membuat ramuan Draught of Living Death."
Grace mengamati Snape sejenak. Wajah tanpa ekspresi, seperti biasa. Namun, kedua mata Grace berhasil menangkap jemari Snape yang sedikit bergetar. Jelas Snape berusaha untuk menutup-nutupinya, dengan menyembunyikan jemarinya dibalik lipatan tangannya. Meskipun begitu, sesekali, jemari Snape bergetar hebat.
"Terima kasih banyak, Prof'." Grace berusaha tersenyum. Sungguh. Ada rasa tertahan di dadanya. Haruskah dia merasa senang, atau haruskah dia merasa sedih? Di satu sisi, Grace bahagia karena Snape akhirnya memenuhi permintaannya, tetapi di sisi lain—di hati kecilnya yang egois itu, Grace kecewa. Karena bagaimana pun juga, Snape bersedia membantunya. Fakta di mana Snape tahu kalau Draught of Living Death akan merenggut nyawanya dan fakta di mana Snape tak lagi menolak permintaannya membuat ada rasa nyeri yang mengganjal di dadanya. Menusuk dan menyakitkan.
Setelah beberapa saat lamanya, Snape baru kembali bersuara. "Tapi," Snape berdeham. "Kau harus membantuku. Lagipula, aku tidak akan melakukan sesuatu tanpa imbalan."
Sebelum Grace dapat menjawab, Snape sudah membalikkan badannya. Jubah hitamnya berhembus seiring dia melangkah pergiNamun, sebelum dia benar-benar pergi, Snape sempat berhenti sejenak. Merenung. "Datang saat kau merasa benar-benar sembuh," suara Snape tidak lebih besar dari suatu bisikkan yang manis. "Aku tak mau kau menghabiskan waktuku yang berharga. Pastikan kalau kondisimu tak akan mengganggu kinerjamu."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
Fiksi PenggemarMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...