Snape menutup pintu serapat mungkin, memastikan kalau tak ada orang lain dapat mendengar apapun yang akan dibicarakannya. Butuh waktu yang cukup lama bagi Snape untuk membuka mulut tajamnya itu.
"Aku sarankan kau tak menemuinya, Potter," bisik Snape kasar, memperingatkan. "Quirell... ada yang aneh darinya."
Tangan kasar Snape kembali mencengkram kuat pundak Grace, membuat dahi Grace mengernyit kesakitan. Snape sendiri sepertinya tak sadar apa yang dilakukannya, malah cengkramannya semakin lama semakin kuat. "Kau dengar aku, Potter? Quirell bahaya. Ingat itu."
Snape kembali memejamkan matanya, mengatur napasnya yang berantakkan entah kenapa. Keringat dingin mulai membasahi tengkuk lehernya. Lukisan tengkorak dengan ular yang menjulur keluar di lengannya itu terasa membakar, menusuk-nusuk permukaan kulit pucatnya untuk beberapa saat.
Voldemort.
Tubuh Snape sekilas merinding ketakutan. Dia bohong kalau dia tak takut. Bahkan bagi pria semenakutkan Snape, ada pria yang jauh lebih menakutkan dari dirinya sendiri. Pria berdarah dingin, tak berbelas kasih sedikitpun.
Baru setelah Snape merasa sedikit lebih tenang dibanding sebelumnya, cengkraman tangannya di pundak Grace dilonggarkan. Sensasi membara di tato tengkoraknya itu mereda.
"Sakit, Profesor Snape."
Kata-kata yang keluar dari mulut Grace membuat tangan Snape seakan-akan tersetrum listrik. Mendengar itu, Snape langsung menarik tangannya secepat kilat dari pundak mungil Grace.
Grace menarik napasnya tajam. Kulit pucat di pundaknya terasa perih. Dia bahkan sama sekali tak tahu kalau cengkraman Snape sekuat ini.
"A-Ah..." Grace mengangkat kepalanya, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia menemukan Snape terbata-bata dalam ucapannya sendiri. "I-Itu salahku."
Sebuah senyuman tipis muncul di bibir Grace, setidaknya sampai Snape kembali menatapnya. Tatapan Snape terlihat memelas dan bingung. Saat itu juga, Grace tahu bahwa cepat atau lambat, hatinya akan terluka.
"Lily... ibumu." Tanpa alasan, nama itu keluar dari mulut Snape secara tiba-tiba. "Apa kau pernah menemuinya?"
Napas Grace tertahan. Suara Snape ketika mengucap nama ibunya terdengar sangat lembut. Rapuh. Apa sosok ibunya itu sespesial itu bagi seorang Snape?
"Tidak, Profesor," jawab Grace singkat. Dia tak mau mengungkit hal yang berkaitan dengan ibunya kepada Snape. Grace sadar kalau dia benar-benar egois sekarang, tetapi dia tak bisa merasa tak adil.
Sekilas, Grace melirik ke arah Snape yang tak lagi sedingin es. Seakan-akan topeng yang dikenakan Snape selalu hancur ketika nama wanita itu disebutkan, memperlihatkan sisi rapuhnya. Bohong kalau dia tak merasa cemburu. Bohong kalau dia tak merasa kecewa. Kenapa bukan dia, melainkan ibunya?
Snape kembali membuka mulutnya, tetapi tak ada kata yang sama sekali keluar. Malah, untuk sepersekian detik, nampaknya dia benar-benar kehilangan dirinya sendiri.
"Lupakan," suara berat Snape sedikit serak. "Lupakan pertanyaanku tadi. Kau boleh pergi sekarang."
...
Seperti yang biasa dilakukannya setiap malam, Grace duduk mengamati cermin kuno sambil memeluki kakinya sendiri. Menyelinap keluar dari Ruang Kesehatan ketika Madam Pomfrey sudah kembali ke ruangan pribadinya, sebelum pergi ke Ruang Peralatan sudah menjadi rutinitas kecil Grace.
Semakin lama, Grace semakin sulit untuk melawan keinginannya untuk melihat keluarga kecil di pantulan cermin kuno itu. Wajah pria yang berdiri di samping wanita berambut merah itu masih buram. Tetapi meskipun begitu, kali ini wajah pria itu terlihat sedikit lebih jelas dibanding sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...