Ch. 3

2.6K 302 5
                                    

Grace menarik nafasnya dalam-dalam, mengikuti langkah kaki panjang Snape.

"Tak bisakah kita bicara disini?" tawar Grace pasrah. Dirinya bahkan sudah tak tahu lagi dimana tempat semula dia berada dengan Hagrid.

Kali ini juga, tuntutan yang keluar dari mulut Grace tak dipedulikan oleh Snape sama sekali. Dia terus berjalan, menyusuri tangga, dan berhenti ketika di hadapan mereka terdapat sebuah ruangan yang terlihat kelam.

"Masuk," gumam Snape sebelum kembali menutup pintunya rapat-rapat.

Grace melangkah masuk dan menyempatkan dirinya untuk mengamati ruangannya. Lampunya berkedip, setiap sisi dipenuhi oleh rak yang berisi—entahlah apa itu—cairan bergerak di dalam botol-botol, dan sebuah perapian kecil yang menambah nilai estetika ruangan itu.

Mistis dan dingin, membuat Grace terkagum-kagum. Suasana ruangannya tentu jelas jauh berbeda dibanding kantor Profesor Dumbledore yang terlihat hangat dan ramah.

"Woah, kau pasti jenius!" pujinya. Matanya bersinar. "Apa ini?" Grace mendekat ke arah botol kaca yang berisi cairan biru tua yang berkelip, hampir menyentuhnya.

"Jangan." Snape langsung memandang Grace dengan sinis, berhasil menghentikan tangan Grace untuk menyentuh botol itu. Jarak mereka, padahal, tinggal sejengkal saja.

Grace menarik kembali tangannya secepat kilat dan langsung menyesal dengan perbuatannya tadi. Harusnya dia sama sekali tidak melakukan itu. Snape sudah cukup membencinya tanpa dia harus menyentuh botol-botol kacanya.

"Jadi, kau." mulut Snape terbuka untuk beberapa detik, mencari kata-kata yang cocok. "Ceritakan tentang dirimu sendiri."

"Ah, diriku?" mata Grace kemudian memandang ke atas, mengingat-ingat kembali perjalanan hidupnya. "Aku tinggal di—"

"Yang penting, Potter. Yang penting. Aku tak pernah dan tak akan peduli dimana kau tinggal atau apapun yang bersifat tak berguna untukku, Potter." desis Snape. "Orangtuamu. Kau tahu mereka seperti apa?"

"Cole bilang mereka adalah pasangan terbahagia yang pernah ada," Grace menundukkan kepalanya. Dia sendiri bahkan tak tahu bagaimana penampilan mereka. Tapi satu hal yang pasti, Cole, kucingnya selalu memujinya akan wajah yang mirip Lily, dan mata coklat papanya, James.

Rasanya menyedihkan kalau dia sendiri sama sekali tak tahu tentang orangtuanya sendiri, dimana kebanyakkan para murid di Hogwarts sibuk membicarakan keluarganya. Meski hanya sejenak, Grace sempat mendengar betapa hangatnya keluarga mereka ketika berada di dalam perjalanan menuju kantor Snape yang berada di ruang bawah tanah itu.

Sebuah pertanyaan langsung terbesit di kepala Grace dan dia melontarkannya. "Mam', Pap', kau tahu mereka?"

Snape mengangkat kepalanya untuk menatap sepasang mata coklat milik si gadis tersebut yang penuh dengan harapan. Jelas dari tatapan Snape, dia membenci setiap harapan yang terpancar dari matanya. "Aku rasa kau telah melenceng dari topik kita, Potter," gerutu Snape, bahkan tak berusaha sedikitpun untuk menjawab pertanyaannya. "Jadi kau bilang kalau selama ini yang memberitahu keberadaan dan siapa orang tuamu itu hanya seekor kucing? Seekor kucing kecil?"

Terdengar tidak logis, tapi itu kenyataannya. Dan seberapapun Grace ingin melawan perkataannya balik, dia tak bisa melakukan apa-apa selain mengangguk. Bagaimanapun juga, kucing yang berbicara memang terdengar seperti karangan belaka.

"Kau, kau tahu kalau Potter, Harry Potter... kalau dia mungkin saudaramu, darinya juga?"

Grace menggeleng. Dirinya seakan-akan lemas. "Aku baru tahu tadi—dari pembicaraan kita dengan Dumbledore,"

Always.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang