Ch. 33

675 86 57
                                    

"Aku mencintaimu, Lily. Meskipun selama ini aku juga tahu kalau kau mencintai Snape."

Grace merasa tertampar atas pernyataan James. Meskipun wajah James tersenyum, tatapan matanya berkata lain. Ada rasa sayang, rindu, dan sedih yang bercampur di mata cokelatnya. Melihat ini, rasa bersalah langsung menghantam dada Grace.

Lily menyayangi James. Sangat. Dia adalah apapun yang diinginkan Lily dalam seorang suami yang sempurna. Pengertian, humoris, dan penyayang. Tidak butuh waktu yang lama untuk membuat Lily benar-benar jatuh cinta kepada James. Dan Grace merasa seperti seorang bajingan, yang tanpa sadar sesekali membayangkan pria lain sebagai pasangan hidupnya.

Tapi Lily juga sepenuhnya mencintai James. Sebagaimana James selalu membuatkan teh hangat untuknya setiap pagi dan sebagaimana James selalu mengelus kepalanya dengan lembut ketika dia terlelap. Lily berani mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawanya sendiri, demi melindungi James dari siapapun.

Entah kenapa, untuk sekali lagi, Grace kembali diingatkan oleh bayang-bayang Snape serta wajah dinginnya, seakan-akan membantah perasaan Lily terhadap James yang muncul di dalam dirinya. Kenangan Lily bersama James silih berganti dengan ingatan Grace ketika menjalani detensi bersama Profesor Snape. Perasaannya pada Snape yang sempat tertimbun sebegitu lamanya mulai bermunculan kembali. Namun kalau Grace harus memilih salah satu di antara mereka, Grace akan tetap memilih James.

Lagipula pada akhirnya, itu adalah pilihan yang juga diambil oleh Lily kan?

Sebelum Grace diberikan kesempatannya untuk menjawab James, ilusi James di hadapannya mulai rapuh, sementara ruangan putih di sekitarnya mulai berdistorsi. Di tengah-tengah keributan dan rasa mual yang memuncak di perut Grace, dia mendengar suara James, tenang dan lembut.

"Kau memang bagian dari Lily, tapi kau juga seutuhnya adalah Grace. Ikuti kata hatimu, Grace. Aku mencintaimu, sebagai Lily, sebagai masa lalumu. Jangan biarkan aku kembali menghalangimu dengan Snivellus untuk kedua kalinya. Tapi, tolong ingat satu hal, apapun yang akan terjadi, aku akan selalu bersamamu."

Dengan itu, Grace tiba-tiba merasa dadanya sesak seperti ditarik kembali oleh dewa kematian. Waktunya di dunia ini belum selesai. Grace bangun dengan napas yang terengah-engah di kantor Profesor Snape. Tubuhnya penuh keringat dingin dan Grace masih merasa kesulitan untuk bernapas secara normal.

Grace mencoba memfokuskan penglihatannya, samar-samar melihat wajah Snape dengan mulut yang tercengang. Wajah pria itu terlihat pucat pasi, dengan kantung mata yang tebal. Bibirnya yang tipis terlihat keunguan, sementara garis wajahnya terlihat lebih kuat dibanding sebelumnya, menunjukkan kelelahannya dan hari-hari yang dilewati Snape tanpa tidur. Di ruangan tersebut, Grace melihat tumpukan perkamen yang berantakan, kertas-kertas yang setengah tersobek, tinta yang tumpah serta tumpukkan botol ramuan kaca yang kosong. Ada aroma ramuan yang menyeruak kuat dari tungku yang menyala. Ruangan kantor Snape tidak pernah seberantakkan ini, sebagaimana Snape yang selalu terlihat tajam dan berhati-hati, kali ini terlihat rapuh dan sayu.

Snape masih menggenggam erat tangan Grace. Kedua mata hitamnya mencari-cari sesuatu di sosok Grace, seakan-akan memastikan apa yang dilihatnya saat ini adalah nyata. Snape hampir kehilangan Grace, sebagaimana dia telah kehilangan Lily.

"Kau baik-baik saja?" napas Snape, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Dari napasnya, Grace dapat mencium ramuan invirogating draught yang pekat. Belum sempat Grace menjawab, Snape langsung meletakkan punggung tangannya ke dahi Grace. Tangan Snape terasa dingin. Terlalu dingin. "Kau demam."

Meskipun Grace masih merasa kepalanya sedikit nyeri, Grace sama sekali tidak merasa dirinya demam. Snape lalu beranjak dari sofanya dan berjalan menuju rak ramuan. Dalam perjalanannya, pria itu sempat hampir terjatuh, namun untungnya salah satu tangannya berhasil memegang ujung kursi sebagai tumpuannya. Grace hampir beranjak untuk membantu Snape, namun Snape malah mengayunkan tangannya, mengembalikan Grace dalam posisi berbaring ke sofa lewat sihirnya.

Always.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang