Matahari mulai terbenam, meskipun teriakkan semangat dari para pemain Quidditch masih sekuat ketika mereka pertama kali bermain. Grace samar-samar melihat Harry dari kejauhan, yang tersenyum malu ketika kakak kelasnya memuji kemampuan Harry sebagai pemain termuda Quidditch yang berbakat.
Harry tampak jauh lebih bahagia dibanding sebelumnya. Anak laki-laki yang manis itu mulai percaya diri semenjak bergabung ke dalam tim Quidditch. Harry selalu bercerita tentang pengalamannya sebagai Keeper di timnya setiap kali dia mengunjungi Grace, dan bagaimana taktik yang akan digunakan untuk pertandingan yang akan datang. Meskipun Ron dan Hermione agak kewalahan mendengar cerita Harry yang sudah diulang berkali-kali, namun bagi Grace, tidak ada yang lebih menggemaskan dibanding melihat Harry kecil yang bersemangat ketika menceritakan hal favoritnya.
Pertandingan Quidditch antara Gryffindor dan Slytherin akan dimulai sebentar lagi, lebih tepatnya, dua hari lagi. Semua penghuni Hogwarts benar-benar antusias menunggu datangnya pertandingan tersebut, terlebih lagi karena pertengkaran yang melibatkan nama asrama Gryffindor dan Slytherin yang merupakan musuh bebuyutan. Beberapa dari mereka bahkan bertaruh, antara Si Cerdik Slytherin, atau Si Ganas Gryffindor yang akan menjadi pemenang.
Tentu saja Fred dan George tidak mau melewatkan kesempatan emas ini. Mereka menjadi tukang taruhan bagi para murid dari seluruh bagian asrama. Sayangnya, aksi mereka tertangkap basah, dan sebagai konsekuensi, mereka diceramahi habis-habisan oleh Profesor McGonagall selama lima jam di kantornya.
Di lain sisi, Wood dan Harry sedang berlatih gila-gilaan dalam mempersiapkan tim mereka untuk menjadi pemenang. Harry sempat meminta maaf kepada Grace karena tidak bisa mengunjunginya sesering dulu, dan sebagai gantinya, Hermione dan Ron selalu menemani Grace di saat mereka senggang. Mereka berdua cukup membantu Grace dalam menyelesaikan tugas gila yang diberikan Profesor Snape, meskipun kebanyakan waktu Hermione akan mulai berceramah selama berjam-jam bila Ron ketiduran karena bosan.
Di sela-sela sesi menulis esainya, Grace menyempatkan dirinya untuk menonton latihan Quidditch lewat sela-sela jendelanya. Tim Gryffindor terlihat sangat bersemangat, bahkan suara teriakkan dan sahut-sahutan mereka dapat terdengar sampai atas. Grace perlahan mengamati satu persatu gerakan anggota tim Quidditch, namun Grace tidak melihat Wood sama sekali di sana. Baru ketika Grace mulai merasa penasaran, Wood muncul di hadapannya.
"Grace!" sahut Wood ceria. Wajahnya terkena lumpur sana sini dan bajunya kotor karena rumput. Meskipun begitu, wajah Wood bersinar kegirangan seperti anak anjing yang bertemu dengan tuannya. "Kau sudah mendingan?"
Grace terkekeh melihat penampilan acak-acakkan Wood yang sekarang. Terlihat manis. "Kurasa begitu," senyum Grace. "Kau tidak ikut berlatih bersama Harry dan yang lainnya?"
"Ah itu," Wood menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum malu. "Tadi aku ke toilet sebentar dan ketika kembali, aku melihatmu di sini. Jadi, yah... begitu deh."
Suasana mereka seketika menjadi canggung. Wood tidak tahu harus berbicara apa ketika mereka hanya berdua. Perlukah dia kembali mengungkit soal insiden surat cinta yang tak terbalasnya? Atau dia harus bersikap seperti Grace, yang seolah-olah tidak tahu apa-apa? Ah, mungkin Grace menolaknya secara halus dengan cara seperti ini. Namun, di lain sisi Wood merasa ini tidak adil. Meskipun ini mungkin terdengar egois, Wood berpikir seharusnya dia berhak mendapatkan jawaban yang jelas, tak peduli sesakit apa. Dia membutuhkan suatu penutup dari perasaannya, entah akan berakhir baik atau buruk.
Maka dari itu, Wood akhirnya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengumpulkan keberaniannya. "Erm, Grace? Kalau boleh tahu... apa yang kau pikirkan tentang... diriku?"
Grace mengedipkan matanya berkali-kali, memproses setiap kata dari Wood. Apa maksudnya? Awalnya Grace mengira kalau Wood sedang bercanda dengannya, namun ketika melihat wajah Wood yang memerah, Grace sadar kalau saat ini Wood benar-benar serius. Wood bukan bukan tipikal Fred dan George yang selalu menganggap semua hal sebagai bahan candaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...