Grace terkejut ketika Snape berjalan mengantarnya sampai ke bagian kesehatan. Bagaimana bisa orang yang berhati dingin itu melakukan hal seperti ini?
Snape berhenti tepat di depan pintu, menaikkan alis matanya, "Baiklah, Evans? Aku tak mau menghabiskan waktuku yang berharga hanya dengan memaksa bocah idiot masuk ke dalam."
Grace cemberut. Dia mengharapkan sesuatu yang lebih, tentunya.
Grace kemudian masuk dengan malu-malu. Madam Pomfrey yang melihat tangannya langsung terkejut, menceramahinya sebentar sebelum membaluti tangan Grace dengan perban. Suara Madam Pomfrey yang mengomelinya masih belum berhenti, dan saat itu juga, entah kenapa Grace melirik sedikit ke arah jendela dan dia tersenyum lebar.
Snape masih ada disana. Menunggu dirinya, mungkin?
Ketika selesai, Grace keluar secepat mungkin untuk menemui Snape yang menunggunya sambil menggerutu. Setelah Snape menatap Grace dari atas sampai bawah, Snape langsung membalikkan badannya, berjalan pergi dan entah kenapa Grace mengikutinya. Seolah-olah hal itu memang sudah natural bagi mereka berdua, seorang pemimpin dengan pengikut yang tak kenal lelah dan di sisi lain, juga menyedihkan.
Langkah kaki Grace terasa ringan, hatinya berbunga-bunga. Semua yang terjadi saat ini terlalu mendadak. Dari harapannya yang hilang untuk bersama Snape kembali lagi, lebih kuat dibanding sebelumnya. Bahkan dia sempat berpikir, apa dia harus seperti ini nantinya untuk mendapatkan perhatian Snape?
"Kenapa?" tanya Grace, suaranya lebih tinggi dan ceria dibanding sebelumnya. "Kenapa kau mengantarku sampai sini?"
Wajah Snape langsung berubah menjadi masam, seakan-akan dia baru saja dipaksa untuk menelan ramuan yang menjijikkan.
"Lihat, gadis kecil," desisnya, "Aku tak mau kau salah sangka. Kalau sampai Dumbledore tahu kalau aku tak mengawasi setiap tingkah absurdmu itu—"
"Dumbledore?"
Jari kelingking Snape bergerak. Mungkin tak seharusnya dia mengatakan hal ini. "Benar. Kepala sekolah kami sendiri, Albus Dumbledore... ingin kau terus menerus diawasi."
"Kenapa?"
"Kau mungkin kasus spesial." datang jawaban Snape yang dingin seperti biasanya, tak membuka ruang untuk diskusi yang lebih lanjut. "Absurd memang," gerutunya tak henti.
Snape kemudian berhenti mendadak, membuat Grace hampir menubruk punggungnya yang lebar itu. Kemudian dia membuka mulutnya. "Boleh aku bertanya," mata Snape melirik ke arah sekitarnya—tak ada orang. "Kenapa kau tak datang ke detensiku selama seminggu?"
Pertanyaan itu selalu ditunggu-tunggu Grace, tetapi entah seberapa banyakpun dia mempersiapkan jawabannya di kepalanya, kepalanya masih terasa kosong.
"Ah, Prof'. Itu semua karena kau bilang aku mengganggumu,"
Snape kembali lagi berdecak, kali ini dengan lekukkan di alis matanya. "Lucu, Potter. Kau menelatarkan segala tanggung jawabmu hanya karena hal kecil saja?"
Hal kecil? Pft. Kalau saja Snape tahu apa yang dirasakannya.
"Jadi aku punya hak untuk mengganggumu, Profesor Snape?" Grace setengah menantang setengah bertanya. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya. Grace tahu kalau kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulut Snape itu pasti akan terasa menyakitkan, tapi entah kenapa, dia tak bisa menghilangkan rasa penasarannya itu. Grace sudah menutup matanya dan menguatkan hatinya, mempersiapkan mentalnya untuk ujaran Snape yang sadis.
"Tentu, Potter." balas Snape singkat yang membuat Grace tak bisa berpikir apa-apa lagi. Semuanya hilang begitu saja.
Tentu? Kalau begitu, setidaknya walaupun Grace memang mengganggu Snape, dia diizinkan untuk berada di dekatnya?
Snape terlalu aneh saat ini. Tapi yang lebih anehnya adalah dirinya, yang tak bisa berhenti tersenyum seperti orang gila.
Sebelum Snape meninggalkannya sendirian, suara berat Snape membuyarkan lamunan Grace.
"Jangan pernah sekalipun kau anggap remeh detensiku, Potter."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...