Ch. 25

1K 160 17
                                    

Grace kembali ke kantor Snape dua minggu setelahnya, dengan kantung mata yang tebal, senyuman terpaksa, dan setumpuk perkamen yang digulung seadanya. Tentu saja hal tersebut membuat Snape bertambah gusar. Segala sesuatu selalu terjadi diluar kemauan Snape, entah itu masalah Harry atau Grace.

Ketidakhadiran Grace dalam dua minggu sebelumnya membuat Snape merasa setengah lega dan setengah kesal. Lega karena mungkin saja itu berarti Grace akan menyerah, meskipun Snape sendiri tahu kalau itu hampir mustahil. Namun, pemikirannya tersebut seakan-akan meringankan beban di pundak Snape yang sudah terlalu lelah, dan memberikannya secercah harapan. Mungkin, dia tak perlu lagi untuk melihat orang-orang di sekitarnya pergi, yang meninggalkannya sendiri.

Walaupun begitu, di satu sisi, Snape merasa jengkel. Benar-benar jengkel.

Grace, bocah menyebalkan itu, menggantikan ketidakhadirannya selama dua minggu dengan cara yang paling tak terduga—muncul dalam pikiran Snape, terus-terusan merusak profesionalitasnya. Entah kenapa, Snape selalu teringat akan Grace setiap kali dia melihat murid-murid Gryffindor yang berkeliaran di lorong, atau saat sedang memberi nilai tugas bertumpuk yang diberikannya. Bahkan ketika Snape mendengar suara ketukkan di pintunya sekalipun, pikirannya langsung tertuju kepada gadis mungil itu—Grace.

"Aku sudah menyelesaikan semuanya," ucap Grace serak, berusaha untuk terdengar bersemangat, meskipun suaranya sendiri mengkhianatinya. Tugas yang diberikan Snape kepadanya itu biasanya membutuhkan waktu satu bulan untuk diselesaikan. Walaupun begitu, Grace dengan ambisinya yang berapi-api, nekat untuk mengerjakan semuanya dalam waktu dua minggu. Siapapun yang melihat penampilan Grace pasti tahu bahwa anak itu belum tidur untuk entah berapa hari. Demi Merlin, saat ini kulitnya bahkan lebih pucat dibanding Si Hantu Myrtle.

"Sudah cukup." Snape bahkan sama sekali tidak menyempatkan dirinya untuk mengecek pekerjaan Grace sedikitpun. Itu berhasil membuat Grace merasa kecewa. Kerja kerasnya tidak membuahkan hasil, malah membawakannya malapetaka.

Snape menyilangkan tangannya dan menatap tajam Grace. "Aku yakin kau masih mengingat perjanjian kita di awal, Potter?"

"Perjanjian a—"

"Nampaknya kau tak cukup serius dalam menghadapi kata-kataku." Snape menyindir dengan sinis. Nadanya terdengar dingin dan menusuk, jelas-jelas marah. "Aku sudah pernah bilang sebelumnya, datang saat kondisimu tidak akan mengganggu kinerjamu. Kau pikir siapa diriku, bocah? Waktuku berharga, tidak seperti waktumu yang dapat kau habiskan sesukamu."

Meskipun Grace telah menyelesaikan persyaratan yang diberikan Snape, Snape tetap menolak untuk menyerah. Mau bagaimana lagi? Snape adalah Snape, dan tidak ada yang satu hal pun yang dapat menembus kepala sekeras batunya.

Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Snape segera beranjak dari kursinya, sebelum berjalan menuju rak buku untuk kembali memberikan Grace tugas mautnya. Snape masih memilih-milih di antara tumpukan buku ketika suara protes Grace mengalihkan perhatiannya. "Profesor, dengan segala hormat," ucap Grace hati-hati, tak ingin membuat Snape lebih kesal lagi. "Aku harus membuat ramuan ini secepat mungkin."

Kedua mata mereka lalu bertemu. Tatapan Snape yang tajam, dengan tatapan Grace yang tak mau kalah menantang. "Kau berani untuk menyuruhku?" Snape mengendus. "Perlu kau ketahui, bocah, kalau posisiku absolut, dan kalau kau ingin aku membantumu, maka kau harus mematuhi segala keinginanku. Mengerti?"

"Profesor, aku sudah mematuhi segala permintaanmu—"

"Oh ya?" Snape menantang. "Kalau ingatanku tidak bermasalah, kau baru saja melanggar perjanjian yang sudah disepakati."

"Tapi, Profesor Snape, aku—"

"Aku tidak akan mendengar keluhanmu lagi." Hardik Snape, kali ini lebih keras dibanding sebelumnya. Amarahnya semakin menguat. "Jangan harap aku akan memperlakukanmu dengan spesial, hanya karena Albus menyuruhku."

"Waktuku hanya sedikit, Profesor," pelas Grace, tidak main-main. Bahkan Grace terdengar hampir putus asa. Biasanya, Grace akan tunduk pada gertakkan profesor kejamnya. Namun, kali ini dia tidak bisa. Lebih tepatnya, dia tidak bisa lagi mengulur waktu untuk menghabiskan waktu bersama profesornya itu, jauh dari keinginannya.

Grace lalu menarik lengan bajunya ke atas, memperlihatkan sikunya dengan nadinya yang menghitam, menjalar hampir sampai ke bagian bawah lengannya. "Aku serius Profesor. Antara aku akan mati mencoba ramuan itu atau aku akan mati karena ini. Hanya menunggu yang mana yang lebih cepat."

...

Tentu saja Albus dan Madam Pomfrey sudah tahu akan kondisi Grace. Grace sendiri yang memberitahukan kondisinya kepada mereka berdua. Hanya Snape yang selama ini belum tahu, dan itu membuatnya merasa benar-benar bodoh. Benar, akhir-akhir ini, semuanya memperlakukannya seperti seorang idiot. Dia merasa dibodohi saat mengira kalau Grace adalah anak dari Lily dan sekarang, menjadi orang terakhir yang mengetahui kondisi Grace membuatnya merasa lebih bodoh dibanding seorang bocah lima tahun.

Snape medecakkan lidahnya, entah untuk menghina ketidaktahuannya sendiri atau atau untuk menunjukkan kekesalannya kepada Grace.

"Kenapa kau tidak bilang dari dulu?" Suara Snape yang serak dan tatapan kecewanya menusuk tajam Grace. Tangannya menggenggam erat sudut mejanya, bukti kekesalannya yang hampir tidak bisa tersembunyikan lagi. Wajah Snape geram. "Demi Merlin, kalian semua memperlakukanku seperti seorang idiot!"

Grace menggigit bibirnya, tidak menjawab. Grace sebisa mungkin ingin menyembunyikan kondisinya dari siapapun. Mungkin ini hanya keinginan egoisnya, untuk berpura-pura kalau dia baik-baik saja dan melarikan diri dari kenyataan untuk beberapa saat. Kenyataan bahwa sebentar lagi takdirnya akan dibawa entah kemana, tidak ada yang tahu.

"Aku tak mau dikasihani," jawab Grace, setelah berhasil mengendalikan segala perasaan yang bergejolak di dadanya. "Aku benci dikasihani."

Snape mengeraskan rahangnya. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada bocah keras kepala yang berdiri di hadapannya. Rasanya Snape ingin meneriakkinya saat ini juga untuk memasukkan akal sehat ke kepala Grace. Namun, di satu sisi, Snape kembali teringat bagian dari dirinya sendiri yang selama ini berusaha dilupakannya. Bagian dari dirinya ketika dia beranjak remaja sebagai seorang bocah yang kurus dan ceking, yang membenci James Potter atas kesalahannya sendiri, dan yang selalu menangis hampir setiap malam di kamarnya, berharap suatu saat Lily akan memaafkannya atas hinaan yang dilontarkannya—Mudblood.

Saat itu Snape dipermalukan di depan umum, dibuat menjadi bahan lelucon oleh James Potter dan kawan-kawannya yang sialan tersebut, hanya karena James cemburu pada Snape yang berhasil mendapatkan perhatian Lily. Snape yang tidak berdaya pada waktu itu merasa mungkin dia bisa melewati ini semua dengan pasrah seperti hari-hari sebelumnya. Setidaknya sampai Lily datang berlari ke arahnya dan Snape bersumpah, dari segala hal di dunia ini termasuk James, dia paling benci ketika Lily menatapnya dengan rasa iba.

Snape mengernyitkan dahinya. Tidak, ini bukan waktu yang tepat untuk merenung atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Sekarang, yang harus dilakukannya adalah membuat keputusan yang tak pernah diinginkannya. Lagi-lagi, Snape hanya diberikan satu pilihan. Iya atau ya.

"Datang minggu depan." perintah Snape ketus. Ada konflik batin yang memanas di dalam dirinya. Mulai dari hal-hal yang biasa sering dipikirkannya, kenapa dia harus melakukan semua ini demi seorang bocah yang jelas-jelas bukan anak Lily. Sejujurnya, Snape tidak menemukan alasan valid untuk membantu Grace, meskipun dia juga tidak punya alasan valid untuk menolaknya. Harry Potter dan segala masalahnya sudah cukup membuatnya frustasi.

Mungkin ini salah satu dari seribu alasan mengapa Snape selalu mengundur-undur tugasnya selama yang dia bisa. Namun hal yang paling dibencinya adalah fakta dimana dia yang akan mengakhiri hidup gadis kecil itu dengan ramuan yang paling berbahaya. Snape bahkan tidak bisa mengatakan tidak, meskipun hati kecilnya berteriak habis-habisan, menolak untuk mendorong bocah polos itu ke jurang kematian.

...

(A/N):

HAYO SIAPA YANG UDAH NUNGGU UPDATE HEHEHEHEHEHE. Ga ada ya? Ya udah :(

Maaf telat setengah tahun, bukan seminggu lagi. Ternyata selama interval itu, banyak hal yang terjadi dan author perlu waktu. Namun, terima kasih pada kalian yang masih mengingat karya ini dan masih rela-rela baca dan comment walaupun hiatus parah hehe! Bagi kalian para pembaca, jangan lupa untuk berbuat baik setiap saat ya!

Tengkyu ❤

Always.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang