Snape mengerang kesal ketika sinar matahari menyentuh pelupuk matanya. Terang. Terlalu terang bagi Snape yang sudah terbiasa dengan kegelapan. Snape lalu memejamkan matanya erat, berusaha untuk menghindari sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela di kamarnya.
"Kau tahu aku yang membawamu kesini, Severus."
Mendengar suara Hagrid, Snape langsung bangun secepat kilat. Dia harus waspada setiap saat, sama sekali tidak boleh lengah sedikitpun. Snape lalu mengangkat tangannya ke pelipisnya. Kepalanya masih pusing. Mungkin alkohol yang diminumnya kemarin terlalu kuat. Tetapi, meskipun begitu, Snape tetap memaksa untuk membuka kedua matanya. Dan ketika dia berhasil, yang pertama kali yang dilihatnya adalah Grace dan Hagrid, duduk di tepi kasurnya yang keras.
Snape masih bisa menolerir kehadiran Hagrid di biliknya. Hagrid mungkin tak tahu akan hal ini, tapi Hagrid adalah salah satu dari sedikit orang yang dapat dipercayai oleh seorang Snape. Maka dari itu, dia bisa menerima dan memahami kehadiran Hagrid di biliknya, tapi, bukan Grace. Bagaimana mungkin seorang murid—tidak, bahkan seorang perempuan, ada di dalam biliknya? Absurd.
Snape mengernyitkan matanya. Satu tangannya memangku kepalanya, masih mencoba untuk meredakan sakit kepalanya. Mungkin Grace hanya ilusinya semata, pengaruh alkohol yang diminumnya. Tetapi, kenapa harus Grace? Bukan Lily? Itu sendiri yang tengah menjadi pertanyaan di dalam kepalanya yang berputar-putar.
"Kau berat." Grace yang tiba-tiba membuka mulutnya, seakan-akan memberi tahu kalau dia bukan ilusinya. Mata cokelat terangnya menatap mata Snape, membaca pertanyaan yang terlukis di dalam mata sehitam arangnya itu. "Sangat berat, Profesor Snape, kalau kau mau tahu."
Snape tertegun ketika mendengar suara halus gadis itu. Untuk beberapa saat Snape terdiam, tak bisa berkutik, sebelum kembali bersikap normal, dan bersikap seolah-olah hanya ada Hagrid seorang di kamarnya. Dia enggan untuk mengakui eksistensi Grace di tempatnya yang paling pribadi. "Hagrid, kau punya rasa berterima kasihku."
Grace tentu saja tidak terima. Pertama, dia yang memberitahu Hagrid kalau Snape mabuk, bahkan ikut membawa tubuh Snape yang berat itu, dan kedua, dia merasa kalau seharusnya Snape memberinya apresiasi. Dia patut mendapatkannya. Tetapi, di luar itu semua, Grace ingin tahu apa dan siapa yang dilihatnya di pantulan cermin kuno itu.
"Hei, aku juga membantu Hagrid untuk membawamu kesini!"
Snape melirik ke arah Grace secepat kilat, mengingat-ingat kejadian kemarin. Sontak, ketika ingatannya kembali, dia entah kenapa merasa kesal. Grace telah melihat sisi terlemahnya.
Kalau ada satu hal yang paling dibencinya di dunia ini, maka itu adalah menunjukkan sisi rapuhnya kepada siapapun. Snape tak bisa membiarkan dirinya menjadi lemah, menjadi seorang pecundang seperti dulu. Menjadi bahan tertawaan. Sudah berkali-kali dia mencoba untuk mengingatkan dirinya kalau dia sudah berubah, sudah menjadi jauh lebih kuat dibanding sebelumnya, tetapi ketika dia melihat kemiripan di dalam mata cokelat Grace dan mata ayahnya itu, amarahnya kembali membara. Usahanya hancur. Sia-sia.
Kejadian bertahun-tahun lalu yang sebisa mungkin dilupakannya itu kembali muncul di ingatannya. James Potter, bersama tiga temannya yang sialan itu, mengayun-ayunkan tongkat sihirnya ke arahnya. Dengan suara tawa angkuh mereka, mereka mengejek dan mempermainkan Snape di depan kerumunan. Seolah-olah dia adalah seekor binatang untuk dipermalukan, apalagi ketika James membalikkan tubuhnya—menunjukkan pakaian dalam Snape ke depan semuanya.
Masih ada rasa malu dan dendam yang kental di dalam hatinya. Snape menggenggam erat lapisan seprai kasurnya, mencoba untuk menjaga emosinya yang membara agar tidak keluar begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...