Ch. 29

1.6K 202 93
                                    

Sinar bulan purnama menerangi siluet kastil Hogwarts yang megah ketika Grace dan Snape sedang menyusuri jalan setapak. Grace diam-diam melirik punggung Snape yang berjalan di depannya. Grace rasa, ada saatnya dia akan merindukan momen-momen kecil seperti ini di dalam hidupnya. Saat ini, mereka berdua sedang berjalan kembali ke Hogwarts, lebih tepatnya ke arah kantor Snape untuk meramu Draught of Living Death. Hagrid tidak ikut bersama mereka, karena tanggung jawabnya untuk menjaga Hutan Terlarang. Namun sebelum Grace pergi, Hagrid sempat memeluknya erat sambil menangis sebagai momen perpisahannya. Snape tentu saja hanya berdiri diam di ujung ruangan, membiarkan mereka berdua memiliki waktu untuk berpisah.

Ketika mereka sudah sampai di kantornya, Snape mengisyaratkan Grace untuk masuk terlebih dahulu. Di luar, Snape memejamkan matanya sejenak, untuk menguatkan kembali pertahanan emosionalnya. Ada ketakutan yang mulai menguat di lubuk hatinya. Snape tidak mau membiarkan perasaannya menguasainya lagi, maka dari itu, segala keresahan dan kegelisahannya dia timbun dalam-dalam di benaknya, meskipun itu menyesakkan dadanya.

Saat Snape masuk, dia langsung menuju ke arah pisau untuk memotong bahan yang diperlukan, tanpa berbicara dan membuang waktu sedikitpun. Ketika Snape sudah memasukkan segala bahan yang dibutuhkannya ke dalam tungku, dia kembali menatap Grace dengan mata hitamnya yang sendu. Ekspresinya masih sama seperti biasa—datar, dingin, dan tidak berperasaan. Namun, jemari tangan Snape rasanya tidak bisa berhenti bergetar. Snape bahkan harus meremas jubahnya sendiri untuk meredakan rasa panik yang mulai mengeruak.

Grace dan Snape saling bertatapan, saling tidak tahu apa yang harus dikatakan. Grace meraba lengannya yang menghitam, sebagai pengingat kalau dia tidak bisa mundur dari keputusannya. Mau dia meminum ramuan tersebut atau tidak, waktu hidupnya hanya sebentar lagi. Antara mati sia-sia, ataupun tahu segalanya. Draught of Living Death adalah taruhan terbaiknya. Sebenarnya, masih banyak yang Grace ingin sampaikan langsung kepada teman-temannya, terutama kepada Hermione dan Wood secara pribadi. Tetapi, rasanya Grace sudah terlalu lelah, baik dari segi fisik maupun mental. Skenario kedua, mungkin saja sebenarnya Grace takut mengatakan kebenarannya kepada temannya. Mungkin, hanya mungkin saja, kalau semua orang-orang yang disayanginya berusaha membujuknya untuk tidak mengambil resiko untuk meminum ramuan mematikan itu, Grace bisa saja mulai mempertimbangkan kembali keputusannya.

Lalu, pada akhirnya, pria berwajah muram tersebut meletakkan gulungan perkamen dan sebuah pena di hadapan Grace. Menurut Snape, setidaknya dengan ini Grace bisa meninggalkan jejak dan kenangan di dunia. "Ramuan itu perlu didiamkan selama satu jam," jelas Snape, yang entah kenapa suaranya lebih pelan dan parau dibanding biasanya. "Selama menunggu, Potter, kau bisa menulis kata-kata terakhir... setidaknya kalau semuanya berjalan buruk."

Perkataan tersebut membuat Grace tertawa kecil. Snape memang bukan tipikal orang yang suka memaniskan kata-katanya, namun Grace tidak menyangka kalau Snape akan sefrontal ini. Grace mengangkat penanya dan mulai menulis kata-kata terakhirnya. Permintaan maafnya kepada Hermione dan Wood, ucapan selamat tinggal untuk Harry dan Ron, lelucon para Muggle untuk Fred dan George, beberapa resep kue favoritnya untuk Hagrid (karena Grace ingin Hagrid tersenyum ketika dia mengingatnya), ucapan terima kasih kepada Madam Pomfrey, dan yang paling terakhir, pesannya untuk Snape.

Selama Grace menulis surat wasiatnya, Snape hanya menatap Grace dalam diam. Sesekali Grace mendongakkan kepalanya dan menyadari kalau Snape masih menatap ke arahnya. Anehnya, Snape tidak sekalipun mengalihkan tatapannya dari gadis kecil itu. Snape hanya berdiri di sana, tak berkutik dan bergerak sedikitpun. Sampai pada akhirnya, ketika mereka berdua saling bertatapan untuk beberapa waktu, sebuah kalimat keluar dari mulut Snape. Terdengar pahit dan penuh penyesalan.

"Kau mengingatkanku pada seseorang, Potter. Seorang... teman lama." Tanpa sadar, sebuah senyuman pahit terlukis di bibir Snape. Kemudian Snape membalikkan badannya, sambil menuangkan sesuatu, dan kembali kepada Grace sambil meletakkan secangkir teh hangat di hadapannya. Siapa yang menyangka, kebohongan Hagrid akan tawaran minum teh diwujudkan oleh profesornya yang muram? Aroma melati mulai tercium, bercampur dengan aroma herbal di ruangan tersebut. Cangkir keramik terasa dingin di kedua tangan Grace, sedangkan teh tersebut terasa hangat ketika diteguknya. Teh melatinya terasa pahit, tidak seperti cokelat hangat Hagrid yang terasa manis. Bagi Grace, cangkir dan teh ini melambangkan sosok Snape di matanya secara sempurna—apatis dan tidak bisa ditebak.

Grace tidak perlu bertanya untuk tahu siapa orang yang dimaksud oleh Snape; Snape juga tidak perlu menjelaskannya. Suasana di sana masih sunyi, dengan kata-kata yang rasanya tidak bisa tersampaikan. Mereka berdua masih saling bertatapan, sampai suara mendidih terdengar dari tungku.

"Ramuannya sudah siap," jelas Snape singkat, meskipun suaranya terdengar sedikit tertahan. Rasanya berat, bahkan bagi seorang Snape untuk merasa siap akan hal ini. Snape sempat menoleh ke arah Grace, untuk memastikan kembali kalau gadis kecil tersebut benar-benar siap sebelum beranjak mengambil ramuan tersebut. Kemudian Snape mendekati Grace, menatapnya wajahya dalam untuk yang terakhir kalinya, sambil meletakkan ramuan tersebut di tangan Grace.

Tangan Snape terasa kasar dan sedikit dingin, dan Grace seketika merasa keberanian melambung di dadanya. Kali itu mungkin saja menjadi kali terakhir bagi Grace untuk bertemu dengan profesor favoritnya yang sinis. Oleh karena itu, di kali terakhirnya, Grace memberanikan diri untuk memeluk erat Snape. Tubuh Snape seketika berubah menjadi kaku saat Grace memeluknya. Snape tidak membalas pelukan Grace, namun Snape juga tidak bergerak ataupun berkutik ketika Grace memeluknya lebih erat. Snape hanya diam di sana, seperti ada dan tiada, dengan konflik yang berseteru di dalam kepalanya sendiri.

"Terima kasih, Profesor." Grace tersenyum, sebelum meminum ramuan di tangannya tanpa penyesalan sedikitpun. 

Always.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang