"Kau, Grace, mengingatkannya pada Lily."
Ucapan Hagrid kembali menguasai pikiran Grace yang berantakkan. Grace menghempaskan dirinya berkali-kali di kasur Ruang Kesehatan, masih tak bisa menemukan maksud dari perkataan Hagrid.
Lily. Lagi-lagi Lily.
Grace menutup matanya, berusaha untuk kembali berpikir positif walau apa yang dirasakannya saat ini membuatnya jauh lebih rumit. Dibanding sedih atau kecewa, Grace lebih merasa hampa dan berat, merasa kalau dia tak bisa melakukan apa-apa. Rasanya seperti ada sesuatu yang sangat penting di depan matanya—yang benar-benar dapat diraihnya sekarang juga. Tetapi, ironisnya, seberapa keras usahanya, sesuatu itu pasti akan selalu menghilang setiap kali dia mendekatinya.
Lily.
Grace kembali memejamkan matanya dengan erat. Mencoba-coba untuk mengingat segala sesuatu yang berkait
Itu membuatnya kembali berpikir, apa Lily yang dimaksud Hagrid adalah wanita anggun yang dilihatnya di cermin kuno di Ruang Peralatan? Lily Evans—yang berarti ibunya sendiri dan Harry? Sejenak Grace mengernyitkan dahinya, merasakan sakit yang familiar di kepalanya. Sejujurnya, Grace masih bisa mentolerir rasa sakit yang ada, tetapi yang paling dia benci adalah ketika rasa sakit itu mereda, kepalanya pasti akan terasa kosong.
Grace kemudian berdiri secepat kilat. Tiba-tiba ada dorongan yang muncul di dalam dirinya untuk kembali menatap cermin kuno itu. Grace merasa kalau dia harus kesana sekarang juga, tak mau tahu. Tetapi baru saja Grace keluar selangkah dari pintu itu, keberadaan Wood menghentikannya.
Ketika melihat Grace di hadapannya, sebuah senyuman malu-malu menghiasi wajah tampan Wood. "Grace," sapa Wood lembut. Wajahnya terlihat khawatir, namun gembira secara bersamaan. "Kau... kau sudah tak apa-apa 'kan?"
"A-Ah, Wood." Grace berusaha sekuat mungkin untuk membalas senyuman Wood, tetapi sayangnya kali ini, pikirannya terlalu penuh.
Grace belum sempat menjawab pertanyaan Wood ketika Wood maju selangkah mendekatinya. Tangan Wood yang sedikit kasar akibat latihan Quidditch berkali-kali itu lalu menyentuh pipi Grace, terasa hangat dan protektif. Nampaknya Wood menyadari sesuatu yang salah pada Grace. "Matamu bengkak. Kau baik-baik saja, 'kan Grace?"
Nadanya terdengar lebih khawatir dibanding sebelumnya. Senyumnya yang tadi muncul itu perlahan memudar, digantikan oleh keresahan yang terlihat jelas. Wood benar-benar khawatir.
"Aku baik-baik sa—"
"Siapa yang membuatmu menangis, Grace?" suara Wood masih terdengar lembut dan ramah seperti biasa, meskipun Grace berhasil menyadari perbedaan kecil di dalam suaranya. Suaranya terdengar sedikit lebih menuntut—memaksa Grace untuk menjawab pertanyaannya.
Wood menghela napasnya kecewa ketika dia tahu kalau Grace enggan menjawab pertanyaannya. Tangannya kemudian kembali mengusap pipi Grace lembut. Suaranya terdengar pasrah. "Grace, kau bisa lebih terbuka kepadaku."
"GRACE!" suara teriakkan Fred dan George yang muncul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu itu berhasil membuat Wood secara refleks menarik tangannya dari pipi Grace. Seketika Grace langsung merasa lega. Grace tak tahu harus berbuat apa tadi ketika dia melihat kekecewaan Wood. Banyak rahasia yang disimpan Grace di dalam hati kecilnya itu, dan dia merasa belum siap untuk menceritakan itu semua kepada siapapun—kecuali Hagrid.
"Hei, hei." Fred yang dari tadi berlari menghampiri mereka berdua mulai menaik-naikkan alisnya tanpa henti. "Kalian berdua sedang apa disini? Di lorong sepi, berduaan saja seperti ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...