Ch. 24

1K 161 19
                                    


Seperti hari-hari sebelumnya, Grace menyelundup ke Ruang Perlengkapan, kembali menatap cermin kuno. Sejujurnya, Grace sedikit bersyukur akan keadaannya. Walaupun untuk sekali laginya dia dilarang Madam Pomfrey untuk mengikuti pelajaran, setidaknya dia bisa menghabiskan sisa waktunya itu untuk merenung. Grace tak perlu lagi menyelundup malam-malam, bersembunyi dari Filch untuk pergi ke Ruang Perlengkapan. Dia bisa pergi dengan santai tanpa protes sedikitpun, meskipun bohong kalau dia tidak merasa kesepian. Lorong yang dilewatinya akan terasa sepi, semua temannya bermain Quidditch di luar atau sekedar mengerjakan tugas mereka masing-masing, dan para profesor lainnya yang sesekali menyapanya akan menyadarkan Grace betapa sendirinya dia sekarang.

Harry, Hermione, dan Ron, George dan Weasley serta Wood memang sering mengunjunginya. Grace bersyukur akan perhatian mereka, namun semua itu membuat Grace merasa bersalah. Harry dan Wood sebentar lagi akan bermain di salah satu pertandingan Quidditch. Hermione mulai bersiap untuk ujiannya dan Ron seperti biasa, akan membantu kedua kakak kembarnya untuk membuat rencana untuk menjahili profesor. Mereka semua disibukkan dengan urusan masing-masing dan Grace tidak mau menjadi penghalang bagi mereka.

Oleh karena itu, entah kenapa Grace semakin lama semakin memilih untuk mengasingkan diri dalam waktu senggangnya. Grace memang menyukai kehadiran mereka, tetapi mungkin saat ini yang paling dibutuhkannya adalah waktu sendiri. Waktu untuk menyusun pikirannya. Tanpa sadar, sambil memikirkan ini, kedua kaki Grace membawanya kembali ke depan permukaan Cermin Kuno. Ada obsesi yang menarik Grace untuk masuk ke dalam cermin tersebut.

Grace hampir tergoda untuk menyentuh permukaan cermin yang sedikit dingin itu dengan jari-jari mungilnya, namun keinginan kecilnya itu berhasil tertahan. Grace tidak mau terbawa arus obsesi cermin itu dan dia sadar kalau dia harus membatasi dirinya dengan cermin kuno, mau tak mau.

Mata Grace penuh dengan tekad yang membara. Tidak, tidak, dia bukan di sini untuk menatap impiannya sendiri seperti yang dulu dia lakukan. Saat ini, yang dia inginkan hanyalah menemukan sosok pria yang sebenarnya. Yang dia inginkan.

"Cermin kuno ini menunjukkan apa yang kita inginkan, Grace. Dan terkadang, apa yang kita inginkan bisa membuat kita... kehilangan arti dari siapa itu kita."

Tatapan tegas Grace masih melekat pada pantulannya sendiri di cermin kuno. Sekilas, suara Dumbledore muncul lagi di kepalanya, mengingatkannya untuk kesekian kalinya, kalau dia tidak boleh seperti ini terus. Terus-terusan mencari fragmen-fragmen dari harapannya yang terpendam sebelum jatuh gila didorong obsesinya sendiri.

Meskipun begitu, kali ini Grace membuat pengecualiannya untuk dirinya sendiri. "Ini terakhir," gumam Grace pelan, suaranya bergetar entah kenapa. Kalau mau jujur, dia belum siap. Dia belum siap untuk tahu siapa yang dia inginkan sebenarnya.

Samar-samar refleksi dari impiannya perlahan muncul di hadapannya. Lily—wanita yang terasa dekat namun jauh bagi Grace, tersenyum lebar ke arah Grace seakan-akan menyapa dirinya dengan hangat. Di dekapan wanita itu, ada seorang bayi manis yang didekapnya erat. Mereka berdua memancarkan kebahagiaan. Sebuah gambaran dari keluarga sempurna yang diidam-idamkan siapa pun.

Jantung Grace berdegup semakin kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Pelahan tapi pasti, bayangan sesosok lelaki yang berdiri di samping Lily mulai terbentuk. Grace serasa kehilangan napasnya. Hasil penungguannya sudah tiba. Grace sempat memejamkan matanya sekilas, untuk menenangkan segala perasaannya yang mulai campur aduk.

'Tenang, Grace, tenang,' Grace meremas tangannya. Dia berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa di dalam dirinya lewat jemarinya yang bergetar. Dan ketika Grace merasa setengah siap, Grace membuka matanya, dan perasaan kecewa seketika membasuh seluruh tubuhnya.

Always.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang