Sepasang mata hazel itu terbuka, memancarkan aura tenang dan segar saat dipandang. Gadis pemilik mata itu tersenyum walau tubuhnya terasa sakit saat digerakkan. Tapi ia mensyukuri segalanya, setidaknya ia masih bisa membuka matanya dan bernapas.
"Good morning, Lisaku." Matanya bergulir menatap sosok lelaki tegap dengan wajah tampan yang sepertinya sudah menunggu Lisa untuk segera membuka kedua matanya.
"Apa aku tertidur lama? Mataku sulit terbuka tadi." Bambam terkekeh mendengar penurutan pelan Lisa.
"Eoh. Sangat lama sehingga rasanya aku ingin mengguyurmu dengan air." Lisa tersenyum. Hampir satu minggu ia tidak membuka kedua matanya dan hanya kegelapan tak berujung yang ia menemaninya, tapi kini ia bisa menatap mata sang kekasih yang ia rindukan.
"Apa yang terjadi padaku?" Pertanyaan Lisa kali ini mampu melunturkan senyuman yang semula terpatri sempurna diwajah tampan Bambam.
"Karena kau ada dirumah sakit sekarang, itu artinya kau sakit" kali ini Bambam beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat pada Lisa. Lelaki itu memegang erat tangan Lisa dan mengelusnya sesekali.
"Kau sakit, Lisa. Tapi kau tidak boleh menyerah, eoh? Semangat! Kita akan melewatinya bersama." Bambam mengecup punggung tangan Lisa.
"Bagaimana kalau takdir yang kejam padaku walaupun aku tidak ingin menyerah?" Lelaki Thailand kembali tertegun. Ia bukan lelaki lemah yang mudah menangis, tapi kenapa kali ini rasanya sulit untuk menahan air matanya agar tidak keluar.
"Tak apa. Asal kau sudah berusaha"
Suasana menjadi hening. Lisa tetap mempertahankan senyuman manisnya karena ia tidak mau menyia-nyiakan senyumannya yang mungkin sebentar lagi tidak akan bisa dilihat oleh orang lain.
"Lisa-ya~" Lisa berdehem sebagai jawaban. Bambam menelan salivanya sebelum ia kembali berbicara.
"Aku... mencintaimu, sungguh. Jadi berjanji padaku untuk tetap disisiku, ya?"
*******
"Kau memanggilku, unnie?" Jennie menghampiri Jisooyang tengah terduduk dalam gelapnya ruangan kerja Jisoo.
"Bagaimana kabarmu? Baik?" Jennie tahu bukan itu tujuan Jisoo memanggilnya, bahkan Rosé pun juga dipanggil oleh Jisoo.
"Ada apa?" Tanya Rosé tak mau berbasa-basi.
"Kosongkan jadwal kalian bulan depan. Kita akan menyusul Lisa ke Amerika."
"Kenapa bulan depan? Kenapa tidak minggu depan saja?" Rosé melayangkan ketidak setujuannya pada Jisoo. Pikirnya lebih cepat lebih baik, kan.
"Unnie ingin kita datang bersama. Lisa akan lebih bahagia jika melihat kita hidup baik selama ini." Ujar Jisoo.
"Unnie masih sibuk bulan ini. Bulan depan pun begitu, tapi aku usahakan untuk menghentikan semua jadwalku" lanjut Jisoo dan mendapat anggukan oleh Jennie. Ia lelah bertengkar, jadi ia lebih memilih untuk menerima saja keputusan kakaknya itu.
"Aku yang akan memesan tiketnya," setelah mengatakan itu, Jennie keluar dari ruangan sang kakak. Tapi Jennie tidak kembali ke kamarnya, melainkan gadis itu pergi ke kamar sang adik bungsunya.
"Kapan kamar ini kembali terisi oleh barang-barangmu, Lisa-ya" gumam Jennie. Matanya bergulir menatap sekeliling kamar Lisa yang bersih dan bebas dari debu.
Itu semua karena Jennie. Benar jika Jennie yang selalu membersihkan dan merapihkan kamar Lisa. Bahkan Jennie tidak mengijinkan seorang maid pun untuk menyentuh dan memasuki kamar Lisa. Semenjak adiknya itu pergi, kamar Lisa adalah tempat yang selalu Jennie singgahi saat sedih, senang, lelah, ataupun rindu akan Lisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Say "If" [ E N D ] ✔
Teen FictionKata 'jika' atau 'seandainya' pun takkan mampu mengembalikkan sesuatu yang sudah hilang atau pergi.