Lisa merapatkan mantel cokelat yang ia gunakan kala rasa dingin begitu menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Matanya tak lepas ratusan lampu yang menyala warna-warni menjadi pelengkap indahnya pemandangan malam di kota Cambridge.
"Woah, daebak! Ini... benar-benar indah" Lisa berseru dengan kepalanya yang mengadah ke atas, manatap bintang-bintang yang bersinar terang di atas sana.
"Aku sudah di sini lebih dulu dari padamu. Dan selama aku menunggumu menyusul, aku sudah pergi ke banyak tempat yang bagus agar aku bisa mengajakmu ke sana jika kau sudah sampai ke sini," Lisa menoleh pada pemuda di sampingnya, menyunggingkan sebuah senyuman manis yang bisa melelehkan hati siapapun.
"Jangan tersenyum padaku," tukas pemuda itu. Ia tak bisa menatap Lisa terlalu lama, jantungnya akan meloncat keluar sebentar lagi.
"Arraseo~ ajak aku ke tempat-tempat bagus itu, sebelum aku mulai memasuki masa kuliahku" pemuda itu mengangguk setuju.
"Ingin pulang?" Tawar pemuda itu pada Lisa. Lisa terdiam sejenak lalu mengangguk.
"Sebelum itu, boleh kita makan malam dulu? Aku lapar, Bam-ah" Bambam tertawa gemas lalu mengacak rambut Lisa. Ia tersenyum dan mengenggam tangan Lisa dan mengajaknya berlari sedikit untuk menuju mobil Bambam, karena cuacanya begitu dingin.
"Setelah makan, kita langsung pulang ya? Aku takut Sica imo memarahiku karena membawamu kabur"
Kini mobil Bambam berjalan membelah jalan raya dengan kecepatan rata-rata. Ia tak mau mengebut, karena gadis disebelahnya itu tampak masih trauma saat menaiki atau mengemudi mobil. Walau sudah terjadi lama, tapi memori yang tercetak sudah menjadi mimpi buruk yang tak akan bisa Lisa lupakan.
Bambam mengajak Lisa untuk makan di sebuah restoran yang ada di dekat rumah Lisa. Karena nyatanya, setelah Lisa mendatangi negara baru itu Jessica tetap tidak bisa melepas Lisa keluar bebas begitu saja. Katakan ia berlebihan, tapi itu semua demi kebaikan gadis itu.
"Mau makan apa?" Tanya Bambam dan menatap Lisa yang tengah membaca buku menu.
"Aku tidak tahu makanan enak di sini. Pesankan aku sesuai rekomendasimu saja. Aku yakin selera kita sama" Lisa menutup buku menu itu dan menyenderkan tubuhnya pada kepala sofa yang empuk.
"Ada yang sakit?" Lisa membuka kedua matanya dan mendapati Bambam yang sedang menatapnya khawatir.
"Aniya. Aku hanya lapar" Lisa terkekeh pelan lalu kembali memejamkan matanya. Namun tiba-tiba ia merasa ada gejolak yang aneh di daerah perutnya, ingin menahannya tapi Lisa tak bisa. Alhasil gadis itu berlari terbirit-birit ke kamar mandi dan menimbulkan tanda tanya besar di kepala Bambam. Tak mau melakukan kesalahan, lelaki berwarga negaraan Thailand itu ikut berlari menyusul Lisa sampai kamar mandi. Tapi ia tak masuk, ia hanya meneriakkan nama Lisa dari luar.
"Lisa? Lisa-ya!" Lisa mengabaikan Bambam yang terus menerus menyerukan namanya dari luar. Kini ia fokus mengeluarkan semua isi perutnya. Tapi tak ada yang keluar ssma sekali kecuali cairan, karena sedari pagi Lisa belum mengonsumsi apapun kecuali air putih.
Setelah dirasa cukup, Lisa membasuh wajahnya berkali-kali dengan air. Ia menatap wajah pucatnya dari pantulan kaca di depannya, memandang wajahnya yang pucat. Tangan satunya ia gunakan untuk mencengkram pinggiran wastafel, dan tangan satunya lagi ia gunakan untuk meronggoh tasnya untuk mengambil liptint dan menggunakannya.
"Kalau aku ketahuan seperti ini, imo tak akan mengijinkanku untuk pergi lagi," gumam Lisa sembari menggunkan liptint itu. Menghindari dugaan Bambam saat ia bertanya mengapa wajahnya pucat.
"Mian imo. Tapi Lisa masih muda, Lisa harus menikmati waktu-waktu ini untuk bersenang-senang" Lisa tersenyum puas pada dirinya dai pantulan kaca. Ia sudah tak terlihat begitu pucat sekarang. Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi dan mendapati Bambam yang sedang berdiri dengan wajah khawatirnya di depan kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Say "If" [ E N D ] ✔
Teen FictionKata 'jika' atau 'seandainya' pun takkan mampu mengembalikkan sesuatu yang sudah hilang atau pergi.