Gadis blonde itu termenung di kursi belakang rumah sakit. Menatap teduh langit yang tampak sedikit cerah hari ini. Rosé menghela napasnya panjang, mata gadis itu mengedar memandang banyaknya pasien dan keluarganya yang berlalu lalang.
"Neo pabboya?!" Rosé tersentak kaget. Gadis itu langsung menoleh pada sisi kirinya dan mendapati seorang lelaki bertubuh tinggi yang sedang menatapnya tajam.
"Hoshi-ssi?"
"Wae? Aku melihatmu tadi saat masuk ke dalam rumah sakit. Setelah itu aku mengikutimu sampai dalam dan aku terkejut mendengar dan melihat apa yang terjadi" dahi Rosé mengerut bingung. Ia tak mengerti ke mana pembicaraan Hoshi ini.
"Kenapa kau malah lari? Kenapa tidak menemui Lisa? Kau ini kakaknya dan di saat seperti ini Lisa membutuhkan kehadiranmu" Hoshi menurunkan nada bicaranya. Setelah merasa tenang, Hoshi mulai duduk di sebelah Rosé.
"Aku.... hanya takut" Rosé menunduk. Tanpa ada yang tahu, gadis itu menangis tertahan.
"Takut apa? Memangnya kau yang membawa truk itu dan menabrak Lisa?" Tanya Hoshi yang membuat kedua mata Rosé terbuka lebar.
"Ya! Bagaimana mungkin aku bisa membawa truk dan menabrak adikku sendiri?!" Pekik Rosé tak terima.
"Lalu apa yang menganggumu?" Rosé mengalihkan pandangannya pada arah lain. Ia kembali menghela napasnya panjang lalu matanya menatap ke arah bawah.
"Hanya ada suatu hal yang selalu mengusikku. Hal yang selalu membuatku bermimpi buruk setiap aku memejamkan mata" Hoshi mengangguk. Ia tak mau menanyakan lebih lanjut tentang keadaan Rosé. Lelaki itu tidak mau ikut campur terlalu dalam tentang urusan kehidupan orang lain.
"Aku mengenal psikiater di rumah sakit ini, kau mau aku bantu untuk membuat janji temu?" Rosé menggeleng.
"Aku tak butuh dokter. Itu semua hanya sia-sia kalau saja aku pun sulit memaafkan diriku sendiri"
"Banarkah? Tapi aku merasa lebih baik saat aku berkonsultasi dengan psikiaterku" Hoshi bersender pada kursi taman itu. Ia merapatkan mantel yang menyelimuti tubuhnya saat rasa dingin itu mulai menusuknya.
"Kau sering ke psikiater?" Tanya Rosé sembari menatap wajah Hoshi dari samping.
"Dulu,"
"Kenapa? Kau punya masalah?"
"Itu hanya masa lalu kelamku. Aku berusaha untuk bangkit dan merubah diriku menjadi yang lebih baik" Hoshi tersenyum. Ia bangga pada dirinya sendiri.
"Wae? Bukankah sulit lepas dari masa lalu? Apalagi jika itu hal yang buruk"
"Kau hanya perlu menerima dan memaafkan dirimu sendiri. Sesuatu yang berlalu biarlah berlalu, dan kau hanya perlu jadikan itu pelajaran. Tidak usah malu kalau kau mempunyai masa lalu yang kelam, bersyukurlah karena itu artinya kau sudah berada satu langkah lebih maju dari orang lain. Hiduplah dengan baik di masa depan" Rosé tersentuh mendengar penuturan Hoshi. Ia baru tahu jika lelaki dingin dan cuek itu begitu bijaksana.
"Aku tidak biasanya berbicara banyak pada orang lain. Tapi aku tak pernah malu atau ragu membicarakan tentang diriku yang dulu. Karena orang-orang sudah tahu bagaimana kehidupanku yang sekarang, hidupku yang sudah jauh lebih baik" Hoshi tersenyum lalu menatap teduh pada gadis di hadapannya.
"Apa sulit keluar dari masa lalu?" Tanya Rosé yang mendapat gelenggan dari Hoshi.
"Akan terasa sulit di awal. Tapi jika kau punya seseorang yang menyayangimu dan terus mendukungmu, aku yakin semua akan terasa lebih mudah"
"Contohnya? Aku tak punya seseorang yang selalu ada untukku dan selalu mendukungku. Aku harus berjuang sendirian selama ini" Rosé benar. Menurutnya, selama ini ia selalu berjuang sendiri. Dari dia berjuang meraih masa depannya dan sampai ia berada di titik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Say "If" [ E N D ] ✔
Teen FictionKata 'jika' atau 'seandainya' pun takkan mampu mengembalikkan sesuatu yang sudah hilang atau pergi.