Dua

4.9K 306 13
                                    

Tuhan harus sabar menunggu satu bulan setelah kejadian malam itu untuk Arya Salbatier dan Vanesha Tirana bertemu lagi.

Arya yang sedang menghadapi persimpangan dilematis di perusahaan yang sedang ia belajar pimpin pergi mengunjungi Pendeta Christopher untuk meminta nasihat kepadanya.

Pukul dua dini hari, Arya masih di jalan menuju ke kapel. Keputusan genting itu harus dibuat esok hari, jadi ia terpaksa datang saat itu juga ke rumah sang pendeta yang kemudian ia lihat masih segar meskipun sudah dalam setelan santainya. Arya menebak pria itu baru saja selesai menulis renungan untuk doa pagi pukul 5 nanti.

Pukul 3 saat diskusi berakhir, Arya dengan hati dan pikirannya yang kini sudah yakin akan pilihan yang harus ia buat, berterima kasih, memohon diri dan keduanya pun keluar dari ruang tamu rumah pastori Pendeta Christopher.

Saat pintu dibuka itulah mereka mendapati seseorang duduk di seberang rumah, di atas lantai semen yang sedikit lebih tinggi dari tanah di depannya. Pemudi itu tidak lagi percaya diri atau elegan. Arya tidak mengerti tapi ia membenci melihat pemudi yang ia kagumi itu menunduk dalam dan atmosfer di sekitarnya berantakan. Ia bahkan tidak menyadari bahwa pintu di seberangnya sudah terbuka.

Pendeta Christopher menepuk pundak Arya, mempersilakannya pulang, dan berlari menghampiri Vanesha.

Tapi Arya tidak beranjak. Ia memandangi pemudi itu, bagaimana ia menarik nafas dalam-dalam dengan sedikit terlalu banyak mengerahkan tenaga. Barulah saat pendeta itu berlutut dan menepuknya, Vanesha mengangkat wajahnya.

Kantung mata Vanesha begitu besar, tatapannya gusar. Wajahnya kusam dan dia seolah tidak memedulikan atau berusaha menutupinya, seolah dia memiliki suatu perkara besar di ujung jalan yang membuatnya gentar.

Arya merasa familier dengan kondisi itu. Ia merasa akrab dengan pemikiran yang ditekan dan keputusasaan yang wanita itu rasakan, yang gagal membentuk air mata, dan malah termanifestasi dalam kekacauan emosi.

Pendeta Christopher dan Vanesha bercakap cukup lama. Dari jarak itu, Arya bisa mendengar bahwa seorang pasien telah meninggal dan Vanesha kepayahan membendung emosi dan pikirannya yang menyerangnya bagaikan ombak yang marah.

Pendeta Christopher merangkul dan menuntun Vanesha masuk. Keduanya melaluinya begitu saja. Pintu kemudian ditutup dan Arya memilih untuk tinggal dan duduk di tempat pemudi tadi berada.

Sebelum ia sempat menyadarinya, ia sudah berdoa agar Tuhan mau mengosongkan dada wanita itu, dan membuatnya menjadi sosok yang percaya diri dan tenang seperti dulu lagi. Kemudian ia menunggu sesuatu yang ia tidak tahu dengan jelas apa. Tapi menyadari bahwa Vanesha mungkin merasakan tekanan yang sama dengan yang biasa ia alami, hati kecilnya dengan tulus berharap agar dapat memastikan dan melihat langsung kondisi Vanesha membaik.

Saat pemudi itu akhirnya keluar pukul empat pagi, Arya bangkit dan mendekatinya. Langkahnya mantap, sebab ia tahu, ia tidak boleh kehilangan kesempatan melayani pemudi ini.

"Kali ini, boleh saya antar kamu pulang?"

Pemudi kurus itu menutup pintu rumah pastori dan sedikit terkejut akan pertanyaan sopan itu. Ia menoleh ke belakang saat menyadari suara itu familier. Arya mendapati ketidaktenangan berputar-putar di mata sosok itu, dan mata adalah cerminan jiwa.

"Kak Arya, ya?"

"Arya saja," pria itu mengingatkan dengan lembut.

"Oh, ya. Arya." Vanesha melirik jam tangannya. "Sudah pagi. Saya ingin sekali pulang, tapi saya harus kembali ke rumah sakit, dan rumah sakit sangat dekat." Ia menengadah dan tersenyum seolah ia keberatan dengan tanggung jawabnya. "Terima kasih atas tawarannya."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang