Tiga Puluh Enam

82.4K 5.2K 36
                                    

Arya Salbatier bukannya tidak mau keluar kamar. Ia memang tidak ada di kamar.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, pria itu merasakan guncangan yang nyaris terasa secara fisik. Gemuruhnya menghasilkan getaran yang terlalu intens, menggoyahkan pondasi dari apa saja yang tersisa di dalam anak sulung Salbatier. Karenanya, bahkan tidak lagi terpikir olehnya untuk mendatangi Pendeta Christopher. Semuanya menyudutkannya ke hutan. Di sana, ia berdoa dan menyendiri semalam suntuk, sampai akhirnya, di kejauhan, ia mendengar deru mobil Vanesha Tirana menjauh.

Itu, sebetulnya, yang membuatnya putus asa juga.

Kenapa wanita itu tidak tinggal saja, begitu komplain Arya kepada Tuhan di malam gelap, karena dengan begitu semuanya akan lebih terkendali di dalam peperangan ini.

Menurut Arya, wanita itu tidak tahu apa yang sedang ia hadapi. Dan, jika ternyata Vanesha tahu apa yang sedang ia hadapi, maka wanita itu benar-benar memiliki keberanian yang melampaui kombinasi dari seluruh keberanian semua anggota keluarga Salbatier.

"Arya," sapa Tessa yang sudah ada di dapur subuh hari itu, meskipun ia masih di dalam pakaian tidurnya. "Vanesha sudah pergi."

"Ya," jawab Arya dan berjalan ke dekat Tessa demi mengambil minum. "Aku mendengar suara mobilnya."

"Dia membawa semua barang-barangnya."

Arya sedang menenggak airnya saat itu. Tatapan matanya menyiratkan bahwa itu bukan sebuah berita baginya.

Tessa menangkapnya. Wanita itu terkejut bahwa pria ini tidak terkejut. "Ke mana dia pergi?"

"Aku tidak tahu soal itu. Dia hanya bilang dia harus pergi. Mungkin menyelamatkan dirinya," jawab Arya tak acuh. Ia meletakkan gelasnya di dalam tempat cuci piring. "Aku akan beristirahat sebentar. Sampai nanti, Tessa."

Terlihat oleh Tessa bahwa Arya sedang bergumul hebat. Dari jendela, ia melihat bagaimana tiap langkah pria yang kembali dari hutan itu diambil dengan berat. Jadi ia tidak bertanya apa-apa lagi dan memilih untuk membiarkan anak itu masuk ke dalam kamarnya, meskipun banyak yang ia timbun di hatinya soal apa yang disaksikannya di rumah itu selama beberapa waktu belakangan.

Tiga jam kemudian, Arya keluar, sudah dalam setelan kerjanya dan sudah rapi. "Terima kasih, Tessa," haturnya dengan seulas senyum untuk sarapannya pagi itu.

"Bukan masalah," jawab Tessa dan membalas senyuman pria yang ia anggap bayinya sendiri itu. "Apa kamu sedang dikejar waktu, Arya? Aku ingin meminta waktumu sedikit untuk berbicara."

"Tentu saja," jawab Arya langsung, meskipun sebenarnya ia sedang tidak berada dalam posisi untuk memberikan waktunya, bahkan pada sarapan itu. "Ada apa?"

Tessa menarik napas pelan. Ia memancarkan kesungguhan dari matanya ketika berkata, "Aku bangga kamu bisa membebaskannya."

"Terima kasih."

"Aku tahu ini tidak mudah bagi kita, terutama kamu. Tapi kamu bisa melakukan yang benar."

Yang itu membuat Arya segera menyanggah, "Aku tidak yakin ini yang benar, Tessa." Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya mengapa semua orang kompak kehilangan proporsi yang signifikan dari rasionalitas mereka.

"Kenapa?"

"Kamu sudah bersama-sama dengan kami sejak aku belum lahir. Aku bahkan pernah mengira kamu nenekku," kata pria itu kemudian melanjutkan makannya. "Aku akan berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu."

"Hanya karena ini sulit untuk kita, bukan berarti ini salah, Arya." Tessa melambungkan ingatannya kepada pemandangan yang terkait dengan Vanesha Tirana. Seluruh pemandangan itu buruk, jadi ia bisa memahami kekhawatiran pria di depannya. Bagaimana pun juga, seseorang harus mengatakan kebenarannya, "Kita tidak bisa menarik orang begitu saja dan memaksanya meladeni semua ketakutan dan kekhawatiran kita."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang