Dua Belas

94.1K 7K 100
                                    

Satu hari setelah rapat tersebut, rombongan Anastasis Hospital yang diutus ke sebuah daerah di barat yang beriklim dingin, tiba pukul 8 pagi di hotel. Selama tiga hari ke depan, para dokter yang berjumlah 5 orang itu akan menginap di sana.

Para dokter turun dari mini bus yang membawa mereka dan membawa barang mereka masing-masing ke dalam kamar yang nomornya tertera di samping nama mereka di lampiran yang mereka terima minggu lalu melalui surel.

"Terima kasih, Dok," kata Vanesha canggung saat Thomas menarik kopernya dari bagasi bus dan menyerahkannya.

Dokter berkulit putih dengan perawakan yang atletis itu tersenyum. "Apa Dokter Vanesha butuh bantuan saya untuk mengangkatnya ke kamar?"

"Ingatkan saya soal semua ini, Dok, saya rasa saya sudah berutang banyak sekali." Vanesha dan Thomas berjalan memasuki hotel bersama dengan rekan-rekan mereka lainnya.

"Saya pikir saya sudah mengatakannya bahwa saya senang melakukannya," sanggah pria itu masih dengan senyum. "Sangat senang."

Vanesha tertawa rikuh. "Saya tidak tahu bahwa ada yang senang diutangi, Dokter Thomas."

Semalam, Vanesha menolak tawaran temannya itu dengan berkata bahwa ia mampu mengantar dirinya sendiri.

Tapi subuh tadi dia terpaksa menebalkan mukanya dan meminta pria itu mengantarnya karena mobil tuanya yang jarang diservis tidak mau menyala. Dalam hati, Vanesha mengolok-olok dirinya yang terkesan memanfaatkan pria itu, tapi dia berjanji akan menghitungnya sebagai utang. Sebab Sena, sahabatnya yang supersibuk itu, hanya di mulut saja berkata bahwa ia akan melihat besok apakah Vanesha memerlukannya. Pada kenyataannya, ia terlelap sampai pukul enam dan Vanesha sudah tiba di titik kumpul pada saat itu.

Di lantai 4, mereka berpisah arah. Vanesha mencari kamarnya. Nomor 409. Wanita itu memutar kunci dan menyeret kopernya masuk.

Hal pertama yang dilakukannya adalah menuang air ke dalam termos dan mendidihkannya. Perutnya masih tidak enak. Dan ia juga masih letih dan migrain. Perkiraan wanita itu salah. Bukannya membaik, kondisinya menurun. Ia membutuhkan teh, minyak, dan suplemen yang sudah dibawanya di dalam tas.

Vanesha mengecek lampiran yang sudah diunduhnya dan mendapati bahwa satu jam lagi mereka akan berangkat ke desa di mana serangkaian acara vaksinasi akan dilaksanakan.

Ia membuka kopernya dan mengeluarkan seplastik penuh lolipop-lolipop mungil yang dibelinya kemarin di supermarket. Wanita itu lalu memasukkannya ke dalam saku jas dokternya. Ia akan memberikannya kepada anak-anak kecil yang ditemuinya nanti.

Air sudah mendidih. Vanesha menuangkannya ke dalam gelas yang sudah diisi kantung teh. Aroma teh pahit itu menguar, dan hal itu membuatnya pusing sehingga wanita itu mengernyit dalam dan tidak jadi menyentuhnya. Yang ada perutnya jadi tidak enak dan dia memilih untuk berbaring di ranjang yang bersih.

Wanita itu memejamkan matanya sebentar. Saat membukanya, seseorang sedang mengetuk pintunya. Ponselnya menunjukkan pukul 9. Ia melewati satu jam tertidur. Hanya satu jam. Itu terasa kurang dan melelahkan. Semua tidur yang dialaminya membuatnya semakin lelah saat terbangun dan jiwa wanita itu mulai merana.

Vanesha mengenakan jasnya, memastikan ia tidak terlihat sangat jelek, kemudian membuka pintu.

"Semuanya sudah berkumpul di bawah, Dok," ujar satu-satunya dokter wanita yang berada bersamanya di kunjungan hari itu, Dokter Trinita dari spesialisasi yang sama dengannya. Detik selanjutnya, rautnya berubah kaget. "Dokter baik-baik saja?" tanyanya melihat Vanesha yang lelah. Kantung mata wanita itu besar dan riasannya yang sederhana begitu putus asa. Bibirnya kering dan wajahnya sedikit kusam. Wanita itu tidak terhidrasi dengan baik entah untuk berapa lama. "Semuanya tetap akan terkendali jika Dokter beristirahat di sini seharian."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang