Dua Puluh Dua

80.3K 5.7K 41
                                    

Bagaimana percakapan itu terjadi, juga isi dari percakapan pukul 1 malam itu, memotong waktu tidur Vanesha sampai pukul 4. Ia terbangun pukul 6.

Hanya dua jam. Mungkin karena percakapan itu, atau mungkin karena beberapa hal mendasar yang tidak disadarinya, tubuhnya lagi-lagi berkeringat. Dua jam itu memberikannya pengalaman seperti bangsa terjajah. Tidurnya risau, waspada, dan berjaga-jaga, menanti-nantikan suatu invasi, suatu serangan, suatu apa saja yang dapat menembak dan mematikan, tetapi serangan itu tidak pernah ada, dan hasilnya kerisauan itu tidak pernah berakhir, bahkan sampai ia terbangun sekalipun.

Bersamaan dengan tubuhnya yang basah oleh keringat, perutnya bereaksi.

"Jangan," harap Vanesha selagi sempat, ketika dia berlari kecil ke kamar mandi untuk memuntahkan apa saja yang masih tersisa di dalam perutnya.

Ia yang kurang tidur dan tiba-tiba berdiri membuat kepalanya menjadi pusing, pandangannya menggelap, sehingga tubuhnya yang lemas menabrak pintu kamar mandi dan menimbulkan suara berdebam yang keras. Vanesha menurunkan gagangnya dengan panik, berlari ke dalam, dan hampir terjatuh jika saja ia tidak segera berpegangan pada kloset. Saat menunduk itu, belakang kepalanya menimbulkan nyeri seperti terantuk sesuatu yang tumpul dari dalam.

Hanya air yang keluar. Dan rasa mual itu tidak tuntas. Ia masih berputar-putar di dalam sana. Tatapannya menjadi gelap lagi karena ia tidak sadar telah terlalu lama berdiri. Ia duduk bersila di depan kloset, menumpukan sikutnya pada dudukannya, dan meletakkan kepalanya yang lunglai pada telapak tangannya.

Suara derap langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Vanesha merasakan Arya sudah di belakangnya. Ia hampir menoleh ke belakang, tapi serangannya datang lagi.

Langkah Arya berhenti di ambang pintu. Ia terpaku di sana, menyaksikan apa yang secara intelektual ia tahu normal. Tahun-tahun yang ia habiskan di fakultas kedokteran membuatnya paham benar bahwa muntah adalah gejala normal dari kehamilan. Tetapi butuh beberapa detik berlalu sampai pria yang sempat terhilang itu berani mendekat. Ia memijat tengkuk Vanesha. Tangannya mengelus-elus kepala wanita itu.

Dengan lembut, ia memegangi rambut Vanesha yang berantakan. Disingkirkannya anak-anak rambut wanita itu dari sisi wajahnya. Usapan dari tangan besar pria itu berat, nyaman, dan mengingatkan Vanesha akan bagaimana rasanya pulang ke rumah.

Saat akhirnya ia merasa serangannya sudah mereda, Vanesha meletakkan tangannya di kloset, dan menenggelamkan kepalanya di baliknya.

"Sudah?" Suara Arya begitu lembut.

Vanesha tidak menghiraukan itu untuk sementara waktu demi menghimpun kekuatan. Setelahnya, kepala wanita itu terangkat. Ia mengisitirahatkan sisi kiri wajahnya di atas lipatan tangannya, matanya yang sayu menatap Arya. Tidak ada jawaban dari wanita lesu itu, hanya pandangan yang kompleks, yang seperti secarik kertas, sebuah surat yang penuh goresan asal, yang menunggu untuk dipahami, tetapi dibaca saja tidak pernah bisa.

Tetapi Arya Salbatier mampu memahami apa yang ditulis di surat itu. Sejak empat tahun lalu ia selalu mampu. Jadi sebelum pandangan itu menghancurkannya, Arya menarik Vanesha. Pria itu dengan mudah membawanya dalam sebuah gendongan yang lembut, yang hangat, dan penuh sayang. Ia tidak peduli bahwa kemeja putihnya akan menjadi kotor atau berantakan. Langkahnya mantap dan ia meletakkan wanita itu di atas kasur.

Segera ia keluar dari kamar itu, berbincang dengan seseorang, dan kembali masuk dengan segelas air dan obat-obatan. Ada obat yang asing, yang tidak diresepkan dokter, dan dengan demikian pria itu sendiri yang menambahkannya.

"Gastroesophangeal sphincter pada wanita hamil sedikit lebih longgar. Hal itu memicu asam pada lambung untuk naik bahkan ketika dia terisi," tutur Arya seolah Vanesha yang adalah dokter spesialis paru membutuhkan penjelasan soal keberadaan obat asing itu.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang