Tiga

115K 9.2K 125
                                    

Arya memandangi sahabatnya sedari kecil yang kini duduk di kursi penumpangnya, menunggu reaksi perempuan yang ia kenal betul itu.

Yang reaksinya ditunggu malah diam, menatap pria di depannya lekat-lekat. Hal itu membuat Arya grogi, tapi Rachel tidak peduli.

Tadi, setelah Vanesha masuk ke dalam panti, mahasiswa yang tengah menjalani masa koas itu menyapa Rachel dan memberitahunya bahwa sahabat masa kecilnya ada di depan dan bahwa pria itulah yang mengantar Vanesha ke sana sore itu.

Rachel meninggalkan anak-anak bayi dan semua yang tengah ia lakukan bersama mereka, bergegas keluar dengan jantung berdegup kencang di setiap langkahnya, dan duduk di kursi penumpang mobil sahabatnya secepat ia masuk ke sana.

Semua itu hanya demi mendengar pria itu berkata, "Maaf, gue tidak bisa membalas perasaan lo."

Rachel merasakan hatinya remuk setelah menyadari bahwa yang didengarnya itu adalah manifestasi dari ketakutan terbesarnya yang membuatnya terjaga semalaman.

"Kenapa?" responnya akhirnya, membuat Arya menyesal kecanggungan itu pecah membentuk sebuah yang lebih kental lagi.

Putri tunggal keluarga Tirtajana itu dengan tegas menuntut jawaban melalui mata cokelat pekatnya yang tidak malu-malu memandangi Arya meskipun situasi mereka benar-benar canggung saat itu. "Karena gue merasa begini saja sudah cukup," aku pria itu.

"Apa yang membahayakan dari cinta gue sehingga lo menganggap cukup persahabatan kita ini?"

"Bukan itu, Rach—"

"Jadi?"

"Biarkan gue bicara sampai selesai." Arya memandangi wanita di depannya mantap. "Kita memiliki visi yang sama, ketertarikan yang sama, dan hal itu sangat murni sehingga gue khawatir hal-hal romantis akan merusak semuanya. Gue tidak ingin kehilangan semua itu—lo dan kita."

Rachel mengantisipasi jawaban itu, tapi mendengarnya langsung membangkitkan banyak penolakan di dalam dirinya.

"Kehilangan persahabatan ini adalah harga yang tidak bisa gue bayar, dan risiko yang tidak sanggup gue tanggung. Hubungan ini sudah sempurna."

Arya memang lega, sampai kemudian ia mendapati hati sahabatnya mengalami retakan yang cukup hebat, kemudian retakan itu terhempas dan kepingannya tercerai-berai. Mata tegas wanita cantik itu kini kehilangan kendalinya. "Gue minta maaf," aku pria itu, tertekan karena perasaan bersalahnya.

Perasaan bersalah itu begitu besar, Rachel mengenal Arya dengan cukup baik untuk tahu pria itu benar-benar tersiksa. Pemudi itu jadi tidak tega menghukumnya, meskipun di malam-malam terpanjangnya, ia berdoa untuk menikahi pria di depannya, sahabatnya, satu-satunya sosok dengan siapa ia membagikan sebagian dari dirinya.

Gadis itu tidak menggerakkan satu otot pun untuk mengubah wajah datarnya. "Gue mencintai lo. Lo mengetahuinya. Dan lo juga tahu betul bahwa, dengan mencintai lo, gue juga memberikan lo kesempatan untuk menghancurkan hati gue. Kemudian lo memutuskan untuk menggunakan kesempatan itu dengan sangat baik."

"Rach—"

"Jangan merasa bersalah, gue mengatakan itu supaya kita tidak canggung ke depannya." Rachel mengeratkan jaket hitam yang membungkus tank top hitamnya, kemudian merangkul kembali kepingan hatinya yang tercecer lebih cepat dari biasanya, dan memutar haluan duduknya menjadi ke depan, menghadap kaca lebar mobil Audi hitam sahabatnya.

Kemudian ada hening yang tidak nyaman yang mendominasi dan mendorong satu dari keduanya untuk membuka suara. Rachel tidak menunjukkan bahwa ia akan bersuara, jadi Arya berkata, "Gue sangat menghargai keberanian lo menyatakan bahwa lo mencintai gue."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang