Empat Belas

74.7K 5K 21
                                    

Dan wanita itu terlelap di sampingnya.

Arya tidak tahu bagaimana semuanya berjalan tapi wanita itu berada di sampingnya saat ini, terlelap sementara ia melajukan mobil, membelah jalanan yang lengang menuju ke kediaman wanita itu yang sudah lama tidak ia datangi.

Gerakannya gelisah. Arya memperhatikan bahwa Vanesha mengubah posisinya sedikit-sedikit. Awalnya, wanita itu berusaha keras tetap terjaga. Tapi dia terlihat begitu lelah. Ia jatuh tertidur tiga puluh menit setelah mobil melaju.

Kemudian tubuh wanita itu menggeliat. Ia berubah terjaga. Vanesha membuang pandangannya ke kiri dan mengusap wajahnya, mengusir kantuk yang tersisa. "Maaf."

"Untuk apa?" tanya Arya tanpa menoleh.

"Aku tertidur."

"Dan?"

"Dan aku tidak seharusnya tertidur di mobil atasan aku." Vanesha mengubah pandangannya ke depan.

"Tidurlah, Nes," Arya secara tidak langsung memberi tahu mantannya bahwa ia sedang tidak ingin mendengar omong kosong apa-apa. Pria itu menoleh dan mendapati wajah wanita itu lesu. Ia membencinya. "Kamu sudah pernah berobat?"

"Belum."

"Apa saja yang kamu rasakan?"

Vanesha  segera menatap Arya. Matanya letih tetapi ia tetap defensif, "Tidak perlu repot-repot bertanya soal aku, Arya." Ia membuang muka, berharap Arya paham bahwa percakapan mereka sudah berakhir, dan bahwa percakapan itu tidak seharusnya dimulai untuk alasan apa pun.

Dan pria itu paham.

Tidak ada percakapan lagi.

***

Sena menutup pintu mobil sahabatnya yang baru saja ia perbaiki.

Tadi pagi, saat terbangun dan menyadari bahwa sahabatnya sudah pergi, ia begitu menyesal karena tidak menepati janjinya.

Ia menelepon Vanesha dan mendapat kabar bahwa wanita itu sudah diantar oleh rekannya, seorang pria. Sena hampir berpikir bahwa wanita itu sudah menemukan tambatan hatinya yang baru sampai kemudian dia mengetahui bahwa mobil tua Vanesha yang ia pertama lihat di semester 1 kuliah ternyata tidak mau menyala.

Sena berkoordinasi dengan kepala bengkel langgannnya. Mobil itu diderek ke bengkel dan diberi perawatan prioritas yang menyeluruh. Ia kemudian pergi ke kantor dengan angkutan umum, dan pulang dengan mobil hitam sahabatnya itu.

"Nesha? Lo bilang tiga hari?" tanya Sena saat melihat sahabatnya membuka pagar dan masuk. "Oh ya, maaf tadi pagi gue tidak mengantar lo. Mobil lo sudah aman—Apa-apaan?"

Sena gagal mengatupkan mulutnya saat melihat Arya muncul di pagar dengan seluruh karismanya. Hanya saja, ada kecanggungan di antara pria itu dan keduanya. Sesuatu yang kental yang membuat Sena menatap Vanesha dan bertanya -tanya mengapa pria itu bisa ada di rumahnya dan mengantarnya.

"Selamat sore, Sena. Bisa bicara sebentar?" tanya Arya.

"Ada yang harus dibicarakan, Arya?" sela Vanesha keberatan. "Karena sebagai atasan aku, kamu tidak seharusnya mengajak sahabat aku bicara secara personal."

Arya memandang wanita itu tegas. Ia terdengar muak saat berkata, "Kamu dan aku adalah apa pun yang sudah kamu lakukan. Tapi tidak ada yang berubah di antara aku dan sahabat kamu."

Kalimat dingin itu mengusik Vanesha. Tapi tidak ada yang berubah di wajah lesu wanita itu. Pada akhirnya ia hanya mengangguk dan menghindari mata pria itu. "Kalau begitu, aku permisi. Terima kasih untuk semuanya."

Sena mengikuti punggung temannya yang melangkah menjauh. Wanita itu berjalanan dengan menuduk dan sesekali mengurut pelipisnya. "Nesha!" serunya sebelum sahabatnya yang berantakan menapaki undakan terakhir ke teras.

Vanesha membalikkan tubuhnya, menunggu kelanjutan ucapan sahabatnya.

"Sakit lo makin parah? Perlu gue belikan sesuatu?" tanya Sena khawatir. "Lo terlihat lebih buruk dibanding saat lo mimpi buruk dan sesak nafas waktu itu."

Vanesha mengecam di dalam hatinya sahabatnya yang membuka semuanya di depan pria itu, atasannya. "Tidak." Wanita itu segera melanjutkan langkahnya dan berniat tidak akan membalikkan badan meskipun dipanggil ribuan kali lagi. 

"Belikan sesuatu yang membuat suasana hatinya membaik."

Suara berat itu menarik perhatian Sena. Ia menoleh dan terkejut mendapati tatapan keras Arya. Sorot yang lebih tajam dibanding saat Vanesha menghilang malam itu. "Apa?" tanyanya, menyamarkan keheranannya dalam nada sedatar mungkin.

"Dia pingsan setelah setidaknya dua hari ini terlihat sangat pucat. Gue tidak bisa mendiagnosa Vanesha karena tidak ada penanganan prosedural terhadap dia—dia menolaknya. Gue tidak akan menguliknya dari lo. Gue menyampaikan ini agar lo bisa menolongnya."

Sena tahu pria penuh penyangkalan ini masih mencintai sahabatnya. Ia sedikit merasa tidak nyaman membicarakan sahabatnya di belakang, tetapi seluruh bagian dari hatinya masih menginginkan dua orang itu bersama-sama. "Lo punya kapasitas untuk menolongnya, Arya. Dan dia memang harus ditolong. Setidaknya bantu dia meringankan gejala fisiknya—psikisnya... parah sekali."

Wanita itu mengingat sebuah kejadian, tanpa mengetahui kematian yang Vanesha alami di saat itu nyaris melumpuhkannya juga di Kampung tadi. 

"Dua Minggu lalu—gue tidak akan pernah lupa. Rasanya gue sempat melihat kematian di matanya. Hal itu begitu nyata, Arya. Kalau kita perhatikan, sial, kalau kita peka sedikit saja, kita akan tahu bahwa dia sedang melakukan segala cara untuk tetap hidup."

Arya menahan dirinya agar tidak mengingat mata itu tadi saat mereka masih di Puskesmas. "Lo tahu posisi gue tidak untuk menolong," katanya mengingatkan, lebih kepada dirinya sendiri yang berusaha memberontak dari cengkeraman rasionalitasnya. 

"Dia mendorong lo jauh-jauh padahal hatinya mengatakan sebaliknya."

"Gue tidak yakin soal itu."

"Tapi sebetulnya lo putus asa ingin menolongnya."

"Asa siapa pun tidak penting dalam hubungan kontraktual, Sena. Dia mengatakannya dengan benar—gue dan dia terikat hanya secara profesional. Jadi gue menolongnya hanya secara profesional. Tolong belikan apa saja yang dia senangi. Lo memiliki kapasitas itu di dalam hubungan personal yang di dalamnya lo dan dia berada."

Sena tersenyum kecil. "Gue tinggal di sini, berangkat pukul tujuh dan pulang pukul lima. Cari gue di antara jam-jam itu kalau lo akhirnya paham bahwa lo memang seharusnya mengulik Vanesha."

"Yesus mati demi semua orang tapi Dia tidak bisa menyelamatkan mereka yang tidak mau percaya meskipun Dia sangat ingin mereka semua selamat." Arya menatap Sena teduh. "Urusan gue sudah selesai. Bilang kepada Vanesha semoga lekas pulih. Terima kasih, Sena."

OOO

13/03/22

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang