Empat Puluh Delapan

1.5K 150 27
                                    

Selama hidupnya, hanya ada dua hal yang Vanesha tahu adalah akhir dari masalah: pukulan dan pelarian. Pukulan adalah milik ayahnya dan pelarian, ibunya.

Realita ini, bagi seorang anak, tidaklah baik. Ini tidak baik bagi seorang anak anjing, apalagi seorang anak manusia. Hasilnya bagi anak anjing, ia akan tertekan dan kelelahan, dan bagi anak perempuan tidak jauh berbeda. Ia akan tumbuh menjadi wanita dua puluh delapan tahun, menyetir mobilnya tanpa henti, tanpa tujuan, tanpa sadar bahwa malam sudah hampir larut, dan nyaris tanpa berpikir.

Berlari.

Satu hal yang menjadi tanda pengenal bagi Vanesha Tirana karena ia tidak bisa memukul. Ia tidak ingin menjadi seperti ayahnya. Jadi ia menjadi seperti ibunya. Namun, malam itu, setelah apa yang dikatakan oleh teman dari ibunya, Vanesha juga tidak ingin menjadi seperti ibunya.

Lalu, kenapa tetap berlari?

Karena Vanesha hamil. Berlari adalah hal terbaik yang bisa diusahakannya ketika sebuah nyawa bergantung padanya. Sejak dulu, kemarahannya besar dan kuat melilit tulang-belulang di dalam tubuhnya. Dan malam itu, setelah kebenarannya terkuak, kemarahan itu menguat karena, ternyata, kemarahan itu salah. Ia tidak ada hak untuk marah. Jika pun ada, kemarahan itu hanya valid atas dirinya. Paradoks ini membuat Vanesha ingin meledak.

Dan alasan kedua, karena seluruh dunia sudah habis. Tidak ada lagi teman, sahabat, kekasih, atau apa saja. Kalau pun ada, pulang tidak bermakna apa-apa lagi karena yang ingin Vanesha hindari hidup di dalamnya. Sesuatu itu sungguh besar dan kasar, sungguh satanik dan orgasmik, sehingga apa yang Kristus lakukan di Kalvari seakan-akan kosong.

Lagipula, bukankah pulang tindakan yang kurang ajar?

Kehadiranku telah menghancurkan banyak keluarga. Semua orang hidup tanpa damai. Baik. Aku akan pulang.

Hal ini jahat. Vanesha tidak boleh pulang. Ia tidak bisa. Dulu, Vanesha memiliki alasan kuat untuk tidur sementara hatinya memerintahkan hukuman mati atas Dirgantara. Kini, ia adalah penjahatnya. Kehadirannya menghancurkan banyak orang. Ia harus menghukum dirinya. Jika ia boleh, Vanesha harus sampai membunuh dirinya. Karena, siapa lagi yang akan melakukan itu? Apa lagi yang setimpal selain itu?

Keterhilangan Vanesha berhenti seluruhnya ketika sebuah mobil menyudutkannya. Ia segera menginjak rem dan menahan napasnya. Begitu tipis jarak di antara ujung mobilnya dan badan samping mobil yang melintang di depannya itu. 

Dadanya berdegup kencang. Ia berusaha mengatur debaran itu. Di saat yang bersamaan, matanya memindai sekeliling. Vanesha tidak tahu ke mana ia telah membawa dirinya. Tempat itu hanya jalan yang tidak terlalu ramai dan remang-remang. Saat itu juga, teringat olehnya bahwa kejadian ini tidak asing. Beberapa kali orang asing menemuinya di saat-saat kritis.

Vanesha segera paham bahwa pria ini adalah orang suruhan Arya Salbatier. Tepat saat wanita itu ingin mengoper gigi untuk memundurkan mobilnya dan kembali berlari, ia melihat sebuah gerakan di kaca spionnya, seseorang yang keluar dari dalam mobil di belakangnya. 

Rachel Helena.

Semua gerakan terhenti. Semua debar nyaris mati. Rachel turun dari mobilnya seperti kepala bala tentara neraka yang tak terbantahkan, yang tahu bahwa inilah saat yang tepat mereka beracara, dan di tempat gelap inilah mereka akan mendirikan monumen kemenangan besar mereka.

Tidak pernah sebelumnya Vanesha merasa begitu sendirian, tanpa jalan keluar, tanpa kesempatan untuk berlari. Ia terkepung. Ia terpenjara oleh pribadi yang paling berhak menghukumnya.

Untuk beberapa momen yang padat, diiringi lantunan mars kerajaan musuh di kedua telinganya, Vanesha berdiam di dalam mobilnya. Tidak ada kekuatan. Tidak ada keberanian. Semua emosi terhimpun dan tersebar ke ujung-ujung tubuhnya, membuatnya rikuh. Namun, saat itu, ia tidak berlari. Vanesha Tirana memang layak untuk ini.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang