Lima Belas

82.5K 6.3K 42
                                    

Derap langkah Arya terlihat terburu-buru malam itu.

Ia memasuki lokasi yang dibagikan oleh Rachel saat pria itu mengontaknya dan berkata bahwa dia perlu berkonsultasi soal sesuatu.

Sepulang dari rumah Vanesha tadi, ia kembali ke kantornya meskipun ia sudah memberi tahu Irene soal kepergiannya untuk mengindahkan panggilan Tuhan dan memantau proses vaksinasi ke desa-desa. Ia berusaha untuk mengurung pikirannya yang berlari ke mana-mana. Dua jam kemudian pria itu tidak tahan lagi, jadi ia menghubungi seseorang yang selama ini menjadi temannya berbagi soal apa saja.

Arya tidak peduli lagi bahwa ini kedua kalinya ia menginjakkan kaki di bar malam yang sama. Suasana hari itu tidak seramai pertama kali ia ke sana karena hari itu adalah hari kerja, begitu juga dengan besok. Ditambah lagi malam masih terlalu muda untuk minum. Mudah bagi pria dengan jas yang sudah tanggal dan kemeja sedikit berantakan itu untuk menemukan sahabatnya.

"Hai," tegur Rachel, menatap Arya sedikit terlalu lama karena pria tampan di depannya tidak mendebat lokasi pilihannya untuk bertemu. "Benar-benar terkesan dengan pengalaman pertama lo di sini?"

Semua kata-kata Arya yang sudah di ujung lidahnya gagal keluar saat sebuah pemikiran muncul. Ia memandangi beberapa gelas yang memenuhi meja, bertanya tidak habis pikir, "Sebanyak ini sepagi ini, Chel?"

Rachel menyesap minumannya lagi. "Lo di sini juga sepagi ini."

"Rachel." Vanesha memang memenuhi pikirannya, tapi melihat sahabatnya begitu kacau hari itu, Arya menjadi terusik. "Ada apa?"

"Lo yang ada apa," alih Rachel, mengingatkan bahwa pria itu yang mengajaknya bertemu.

"Tidak, lo. Apa yang terjadi?"

"Gue baik-baik saja."

"Lo lagi-lagi bersikap kontradiktif."

"Gue bersikap normal. Sesuaikan perspektif lo." Rachel meletakkan gelasnya di meja dan melipat tangan di depan dada.

"Kalau ini adalah normal, maka lo sudah menyesuaikan diri ke konsep yang sama sekali salah." Tatapan pria itu menjadi keras. "Ada apa sehingga lo minum sebanyak ini?"

Rachel menaikkan satu alisnya. "Lo marah? Atas hak apa?"

"Lo sahabat gue."

"Dan?"

"Dan gue tidak menoleransi praktik perusakan diri sendiri pada sahabat gue." Arya menekan nada suaranya agar tidak meninggi, "Gue tidak suka lo bergantung pada zat-zat ini. Apa yang sedang lo lalui?"

"Gue tidak butuh toleransi atau preferensi lo, Arya. Kalau gue ingin lo memarahi atau memperhatikan gue, gue yang akan mengundang lo. Tapi kita sama-sama tahu bahwa lo yang menginisiasi pertemuan ini. Jadi, cerita saja ada apa atau pertemuan ini akan menjadi sangat bodoh. Ada apa dengan Vanesha?"

"Profesor Reagan membahas Vanesha?" tanya pria itu langsung.

"Gue mendengar dia bertelepon dengan lo. Dia dipulangkan karena pingsan."

"Benar, tapi bukan itu yang membawa gue ke sini." Seketika saja seperti ada sebuah emosi yang menguasai Arya, yang membuat pria itu terdiam sesaat dan menggelengkan kepalanya samar. "Gue membutuhkan opini lo sebagai seorang dokter, Rach. Tolong bersikap sedikit objektif."

Rachel meletakkan gelasnya dan menjadi serius.

"Dua hari terakhir, Vanesha sangat pucat. Dua Minggu lalu juga dia tidak hadir di pernikahan Janette Jordan. Dia sakit."

Batin Rachel menyangkalnya karena ia melihat wanita itu memasuki bar yang mereka datangi hari itu.

"Dan tadi, dia begitu lemas dan putih. Terlihat sangat kelelahan."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang