Dua Puluh Satu

81.8K 5.9K 70
                                    

Dia yang terbangun dini hari telah menjadi pola di alam bawah sadarnya.

Vanesha melirik jam di atas pintu kamarnya di rumah Arya. Pukul 1.

Sebelum ia ingat bahwa ia tengah mengandung, wanita itu sadar akan sensasi panas di dalam perutnya, juga mual dan makanan yang beranjak naik kerongkongannya. Kemudian ia sadar bahwa ia hamil dan ia tidak seharusnya menolak makanan pemberian ayah dari bayi itu beberapa jam lalu.

Bersamaan dengan ingatan akan penolakan itu, muncul ingatan soal bagaimana mereka berargumen. Vanesha menyadari bahwa ia telah menyakiti pria itu lagi. Jika ia adalah Rachel, tentu saja ia akan berusaha menyelamatkan seorang Arya Salbatier dari Vanesha Tirana. Tapi ia menyakiti pria itu karena ia sedang menyelamatkan Arya Salbatier dari Vanesha Tirana.

Ketika memori tentang perdebatan mereka terputar ulang, Vanesha mulai memikirkan alasan mengapa ia tidak ingin tinggal di rumah pria itu. Dan ia menemukan jawabannya: ia tidak tahu. Yang ia tahu adalah bahwa ia tidak tahan diatur-atur dan diperintah. Ia tidak bisa menoleransi penetrasi orang lain ke dalam batasan privasinya. Dan ada sesuatu tentang berada berdekatan dengan Arya yang membuatnya risi. Ia malu dan terintimidasi karena sudah meninggalkan pria itu begitu saja, tetapi lebih dari itu, ia harus membuat Arya Salbatier benar-benar membencinya.

Monolog yang meliar itu membuat Vanesha segera keluar dari dalam kamarnya yang panjang setelah mengambil sebuah obat dan mengunyahnya.

Rumah pria itu hanya satu lantai, menghadap ke danau dan hutan yang luas. Bentuknya persegi panjang yang benar-benar memanjang. Meskipun menciptakan banyak ruang, kekosongan rumah yang didominasi warna cokelat itu lebih diduduki oleh angin dibandingkan peralatan dan fasilitas. Hanya ada dua kamar, terletak bersebrangan. Di tengah-tengah dua kamar yang berjauhan itu terdapat dua buah sofa panjang dan sebuah meja kayu yang sama panjangnya. Sama seperti jendela-jendela di kamar, jendela di ruang tamu itu berukuran nyaris menyamai ukuran tembok. Di belakang ruang tamu yang luas tetapi sangat lowong itu terletak dapur. Selain kulkas dan kitchen set, ada meja berlapis marmer di sana, juga empat buah kursi bar. Hal yang menonjol dari dapur itu adalah bahwa dapur itu sedikit terlalu bersih.

Terdapat kamar kecil di samping kamar Vanesha, dan kamar itu sejak dulu berisi tidak ada. Ia tidak difungsikan sebagai gudang atau sesuatu karena Arya tidak menumpuk barang-barang. Di dalam rumah minimalis itu hanya ada hal-hal penting untuk makan, tidur, dan berpakaian, di samping beberapa hal sekunder lainnya, seperti buku dan lemarinya.

Letak perabotannya tidak ada yang berbeda. Dominasi cahaya lampu oranye dari dapur masih hangat dan menyenangkan. Semuanya masih ada. Semuanya masih sama karena semuanya tidak pernah tersentuh sejak Hari Itu.

Vanesha menapaki lantai semen yang dingin menusuk kakinya, melangkah ke dapur.

Ketika ia sampai di sana beberapa jam lalu, Vanesha tidak memerhatikan rumah itu karena ia begitu membenci apa yang terjadi di antaranya dan pria itu, sehingga mereka hanya berbicara sedikit, kemudian Vanesha masuk ke dalam kamarnya. Ia menolak ajakan pria itu untuk makan. Arya bersikeras, tetapi pria itu langsung bungkam saat Vanesha berkata dia mual.

Saat ini, setelah mualnya reda karena obat tadi, ia betulan lapar dan tidak ada makanan apa pun di atas meja.

Vanesha duduk di kursi bar dapur, menonton dan mendengarkan kesunyian yang mengelilinginya. Ia tidak bisa tidur lagi dan tidak berani mencoba. Kamarnya yang kosong hanya akan menjadi kurungan. Tidak ada buku di dalam sana. Kardus-kardus berisi buku itu masih ada di dalam mobil Arya.

Vanesha melipat tangannya dan meletakkannya di atas meja. Ia memeluk dirinya sendiri dan mengusap-usapnya.

Saat itu, matanya menangkap sesuatu di atas meja. Inhaler pria itu.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang