Sembilan Belas

69.5K 4.6K 76
                                    

"Tinggalkan kami, Irene."

Irene bungkam setelah mendengar nada itu akhirnya ditujukan kepadanya juga dari atasannya. Ia hampir pergi jika Vanesha tidak menyambung.

"Tetap tinggal," perintah Vanesha. "Saya mengenal profil kamu. Kamu seorang feminis, maka jadilah saksi atas ideologi itu. Atasan kamu seorang pria, dan dia adalah pemimpin saya. Terdapat kesenjangan kekuasaan di antara kami. Dia bisa menggunakannya dengan sewenang-wenang dan menindas saya secara emosional. Tetap bersama saya." Vanesha tahu kehadiran Irene akan mempersingkat percakapan yang konfrontatif itu. Ia membutuhkan wanita muda itu.

Arya memandang asistennya. "Siapa tuan yang kamu layani? Karena dia yang kamu layani, kamu kenal."

Irene memandang Vanesha, dan dia memohon maaf melalui matanya kepada wanita itu dan kepada dirinya sendiri, karena harus mengkhianati apa yang ia percaya, dan demikian tidak melindungi Vanesha. Tapi dia tahu atasannya, dan pria itu tidak akan melakukan kejahatan apa-apa.

"Mohon jangan terlalu lama, Pak," pinta Irene, "karena meskipun saya tidak melayani Pak Kevintra Sabatier secara langsung, saya mengenal beliau, dan beliau akan kecewa jika Bapak tidak ada di IPO hari ini."

Setelah Irene menghilang dari pandangannya, Vanesha merasakan ketakutan menyergapnya. Hal itu seolah ia dibawa ke pengadilan. Diadili dan dituduh, tetapi tidak memiliki advokat sebagai pembelanya. Ia sendirian di hadapan seseorang yang terlihat seperti penuduhnya, yang akan menjadi pembela terbesarnya empat tahun lalu.

"Kita menikah," tekan Arya final setelah menunggu lama dan Vanesha hanya memandang ke balik punggungnya, merenungi kepergian Irene.

Kalimat itu menyita perhatian Vanesha langsung. Baru ia sadari pria itu marah. Tidak ada nada tinggi atau apa, tetapi tubuhnya tegang di balik tuksedo hitamnya. Jantung Vanesha berdebar menyalahi aturan. Ia mengutuk konfrontasi tiba-tiba itu. Juga Sena yang membocorkannya.

"Sangat percaya diri bahwa ini anak kamu?" tanyanya tenang, sarat tantangan.

Rahang tegas pria itu mengetat sebelum ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. "Aku menginginkan sebuah nama."

Vanesha menatap pria itu datar. "Atas hak apa?"

"Hak seorang ayah, Vanesha, karena aku tidak peduli apa yang terjadi di antara kita, aku ingin hadir bagi anakku." Arya menggeram. "Siapa namanya? Bawa aku menemui selingkuhan kamu dan aku akan meninggalkan kalian sendiri dengan bayi itu."

Ini bukan anak selingkuhan, tentang Vanesha dengan hati yang tiba-tiba murka. Ia memegangi perutnya. "Aku tidak akan bertemu dengan siapa-siapa karena aku akan membesarkannya sendiri," tekannya.

Anak Sulung Salbatier memiliki batasan emosi seteguh benteng, tetapi kalimat Vanesha telah menembus benteng itu dan menusuk tepat kepada titik yang membuatnya ingin menyatakan perang. Tetapi tidak akan pernah ada perang yang bisa dinyatakannya kepada wanita ini, sehingga tidak ada yang lepas dari kendalinya selain tatapannya yang menjadi tajam dan mengintimidasi. "Apa yang kamu pikir akan kamu lakukan kepada anakku, Nes? Tidak. Aku akan bertanggung jawab sampai dia lahir, memenangkan hak asuh atasnya, dan membesarkannya di rumah tanggaku dan istriku karena anakku akan memiliki ayah dan ibu."

Kalimat itu terlampau egois. Arya meminta semuanya dan tidak menyisakan apa-apa, tapi wanita defensif itu tidak mendebatnya, "Oke."

Ada jeda yang diisi dengan keletihan, kebingungan, kekecewaan, dan berjuta pertanyaan. Arya membuang nafasnya dengan kasar. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi di antara keduanya. Dulu, obrolan tentang anak selalu menjadi remedi. Mereka dengan giat menunggu-nunggu waktu Tuhan untuk memiliki dan mengatur keluarga mereka sendiri, untuk memiliki makhluk-makhluk kecil yang imut dan menghibur, yang mewarisi nilai-nilai luhur mereka, yang memuliakan Tuhan di kemudian hari.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang