Dua Puluh Lima

78.3K 5.4K 81
                                    

Selepas percakapan singkat itu, ruangan menjadi sangat hening. Hanya terdengar suara dari kamar Vanesha di mana Tessa merapikan tempat tidur dan juga buku-buku.

Vanesha merenungi bagaimana keluarga Salbatier begitu terobsesi dengan pernikahan antara anak sulungnya dan ibu dari anak pria itu. Satu hal yang ia mengerti, bahwa mereka memerintahkan sebuah pernikahan setelah ia dinyatakan hamil. Dan itu tidak datang dari Freya atau Zephaniah, melainkan sang kepala. Sebelumnya, tidak ada dari keluarga itu yang memaksa atau bahkan memintanya untuk kembali. Jika kepala dari keluarga itu sudah turun tangan, maka sesuatu tidak bercanda.

"Tessa," panggil Vanesha setelah ia sampai di dapur, menghampiri Tessa yang sedang memanaskan air. "Aku boleh berbicara sebentar?"

Tessa berbalik. "Ya. Apa yang bisa aku bantu?"

Vanesha tidak yakin apakah ia harus membawa ini ke permukaan bersama Tessa yang adalah orang asing di keluarga Salbatier. Maksudnya, bahkan Freya Misty yang adalah anak mereka saja tidak mau mengumbar apa-apa soal keluarga Salbatier. "Aku baru saja ditawarkan sebuah kontrak pernikahan."

Tessa menunggu dengan sabar.

Melihat itu, Vanesha mengerti. "Jadi kamu sudah tahu juga soal itu."

"Soal apa?"

"Soal kenapa keluarga Salbatier memaksakan sebuah pernikahan dengan ibu dari keturunan mereka. Tidak ada di dunia ini yang menganggap normal sebuah pernikahan kontrak," simpul Vanesha. "Reaksi kamu terlalu santai bagi orang yang tidak tahu."

Tessa tidak menyangkal, "Ya, aku tahu. Tapi jika percakapan ini berarti kamu meminta aku memberi tahu apa alasannya, aku tidak bisa. Kamu harus bertanya kepada mereka langsung."

"Aku sudah menanyakannya kepada Freya dan dia menolak memberi tahu aku apa-apa," sanggah Vanesha frustrasi.

"Dia merasa dia bukan Salbatier karena dia anak angkat."

Masalahnya, Vanesha juga sudah bertanya kepada Arya Salbatier langsung dan pria itu tidak memberikannya jawaban yang memuaskan. Vanesha tidak mengerti kenapa sekarang dadanya memanas. Mungkin karena jawaban yang ia dengar semalam bersifat diplomatis dan karenanya memuakkan. Bisa juga karena ia sadar bahwa ternyata ia belum mengenal pria yang pernah menjadi pacarnya selama empat tahun.

"Jangan menangis," bisik suara lembut Tessa, menyentak Vanesha dari lamunannya karena suara itu begitu lembut dan, di sebuah titik entah di mana, Vatima seolah hadir.

"Bisa temani aku keluar, Tessa?" mengalir dari lidah Vanesha sebelum ia rencanakan. Mendengarnya membuat Vanesha terpekur. Ajakan itu terdengar seperti sebuah ajakan untuk berlari. Ruang di hati Vanesha yang darinya pertanyaan itu keluar membuat hal itu terdengar seperti awal dari sebuah perjalanan panjang seperti yang dilakukan ia dan ibunya dulu. Jadi ternyata sifat itu masih tinggal di dalam dirinya. Ternyata satu-satunya cara untuk berdamai yang ia ketahui adalah dengan pergi.

Tessa mengangguk. "Tentu saja. Ke mana?"

Vanesha tidak terbiasa menjawab itu. Karena dulu ibunya juga tidak pernah menjawab itu. Mereka akan ke mana-mana hingga mengantuk dan tertidur. Ditambah lagi, dulu, ketika berpacaran dengan Arya Salbatier, Vanesha Tirana hanya sedikit mendapat kesempatan untuk berlari ketika mereka sedang berseteru. Pria itu akan membuat keduanya duduk melewati percakapan paling menyakitkan, paling canggung, dan paling melelahkan sekalipun untuk menyelesaikan segala sesuatunya.

Berkat pria itu, Vanesha tahu ia seharusnya tetap tinggal di rumah dan merasakan amarahnya. Namun, toh, akhirnya ia berkata, "Berbelanja."

Dan begitulah ia berlari.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang