Tiga Puluh Sembilan

77.4K 5.1K 50
                                    

Vanesha berusaha keras menghentikan tangisannya di depan Rachel.

Sejak dulu, Rachel selalu sama seperti itu, pahit dan diam saja. Tentu saja Vanesha, dan anak-anak polos lainnya, mengindera kasih dan penerimaan dari wanita dingin itu, tetapi dengan sebuah teknik yang entah Rachel pelajari dari mana, ia mampu menyelubungi kasih itu dengan sesuatu yang kental, yang membuat siapa saja merasa seolah mereka rendahan.

Vanesha tidak bisa menahan tangisannya. Ia tersedu di depan Rachel yang menerima, menunggu, atau masa bodoh dengan senggukan samar-samar malam hari itu.

Sampai akhirnya Vanesha meraih air yang Rachel pesan untuknya, meminumnya, dan menatap wanita di depannya.

"Maaf, Kak," kata Vanesha sumbang, menciut di kursinya karena telah membuat Rachel menunggu.

Dengan sorot datarnya, anak tunggal Tirtajana itu menatap mantan teman sekamarnya. "Apa yang telah terjadi?"

Sebetulnya, jawaban dari pertanyaan itu sudah diberikan Vanesha di telepon tadi. Namun, saat itu, wanita yang kewalahan itu mengatakannya dengan emosi yang membubung, sehingga kata-kata dan suaranya jadi tidak jelas. Rachel tidak repot-repot meminta Vanesha mengulang ceritanya dan langsung menyuruh wanita itu menemuinya di kafe itu.

"Kutuk itu benar," buka Vanesha, masih yakin kepada kepercayaannya meskipun pertentangan hari itu hebat. "Aku melihatnya di mana-mana. Dan hari ini aku menyampaikan kebenaran itu kepada sepupu-sepupuku. Mereka, atau setidaknya, salah satu dari mereka, menganggap hal itu angin lalu. Jadi aku pergi kepada Pendeta Christopher." Vanesha menghela napasnya yang berat. "Beliau mengatakan kutuk itu tidak ada."

Tidak ada yang berubah dari ekspresi Rachel, ia cukup terkesan dengan bagaimana Vanesha baru akan memutus kutuknya berminggu-minggu setelah berita soal kutuk disampaikan.

Ekspresi Rachel lurus seolah ia yakin teologinya akurat, dan begitu bosan seolah Vanesha sedang mengatakan bahwa ada ikan-ikan di laut. Ekspresi ini membuat yang bercerita merasa kian sendirian dan tidak valid.

Vanesha menunduk lagi. Ia melihatnya: bahwa tidak ada yang melihat urgensi dan krisis di dalam situasi ini. Hanya ia, dan itu artinya ia tolol sama sekali.

"Siapa nama sepupumu?" tanya Rachel akhirnya.

Vanesha menaikkan pandangannya dari gelas di depannya. Ia ingin bertanya untuk apa, tapi tidak berani, "Ridho."

"Ridho Kristus?"

"Apa?"

"Dan apa itu Christopher Kristus yang kamu temui?"

Vanesha terdiam.

"Mereka bukan Kristus." Rachel benar-benar mengambil jalur terjauh hanya demi mengatakan, "Kamu telah begitu meninggikan semua pertentangan remeh itu. Berhenti menjadi orang gampang yang menaruh nilai besar pada pandangan dari mereka yang bukan Mesias. Sepupumu anak Tuhan?"

"Bukan," cicit Vanesha lemah, mulai berpikir bahwa tentu saja sepupunya tidak mengerti teologi Kekristenan.

Karena kenyataan yang begitu jelas itu, Rachel tidak berpanjang lebar soal Ridho. Sebagai gantinya, ia menjabarkan situasinya soal pendeta yang ia kenal sepintas lalu itu, "Dan Pendeta Christopher datang dari gereja arus utama. Gereja itu mengedepankan rasionalitas. Ia tidak mungkin berani mengatakan kebenaran soal kutuk meskipun ia percaya bahwa kutuk itu ada. Dia akan dihabisi oleh Sinode. Semua konsep ini bukan hal baru, jadi berhentilah menjadi begitu dungu dan lemah bagi Kekristenan," pesan wanita itu, seolah ia adalah guru yang kecewa menghadapi muridnya yang gagal.

Semua itu adalah penghiburan yang alkitabiah dan masuk akal. Vanesha mulai merasa terhibur. Ia mulai dapat melihat kebenaran posisinya, meskipun di saat yang bersamaan, harga dirinya lagi-lagi tercederai.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang