Dua Puluh

78.8K 6.3K 95
                                    

Sebetulnya, dunia tidak begitu sempit.

Itu yang Vanesha rasakan ketika sore-sore itu ia dibawa sepupunya menyusuri kota dengan motor. Angin sore yang tegas mengusir pasir-pasir kegelisahan dan kecemasan dari hati Vanesha. Angin itu seolah membentuk pagar di sekitar keping hatinya yang rentan, seperti ibu yang melindungi anaknya yang lemah dan kerap dirundung kawan-kawannya. Rambut panjang Vanesha yang bebas tanpa pelindung kepala, beterbangan mengikuti arah angin.

Senyum tipis terulas di wajah wanita itu. Yang pertama setelah beberapa minggu penuh ketegangan, luka, dan kejutan. Ketenangan mengisi hatinya, memenuhinya, dan hal itu membuat Vanesha tenggelam dalam emosi yang sudah lama tidak ia rasakan. Wanita itu menatap semburat oranye dan violet yang berbaur di langit. Ketika ia mengedip, air mata lolos dari sudut wajahnya.

Dunianya memang sempit dan penuh sesak. Tetapi dunia tidak sempit. Ada hal-hal kecil yang membuat orang-orang mudah bersuka, konsep-konsep yang belum pernah terjamah oleh disiplin ilmu mana saja. Dunia berisi emosi-emosi yang tidak memiliki sebutan, yang gagal dipahami secara pasti oleh ahli Kekristenan, ahli psikis, atau ahli bahasa. Dunia berisi misteri Tuhan yang tidak akan pernah habis untuk diselami, yang tidak pernah Dia sembunyikan.

Misteri itu yang membuat dunia sungguh sangat luas. Penemuan atas sebagian kecil dari Tuhan di dalam keseharian adalah apa yang membuat hidup manusia sungguh sangat menyenangkan, bagi manusia dan bagi Dia.

Senyuman Vanesha melebar. Wanita itu memandang orang-orang dan merasakan kasih yang begitu besar bagi mereka. Kasih itu begitu besar, meluap-luap di dadanya, memberinya kekuatan dan kepercayaan bahwa semuanya bisa dituntaskan.

Ketika motor berhenti di pinggir sebuah lapangan, Vanesha merasa seolah ia baru mengalami pentahiran, atau katarsis, atau apa saja yang bersifat purgatif.

"Maaf, Nes, kamu tidak pakai helm jadinya," kata Ridho lagi untuk yang kedua kali setelah meminta maaf di rumah Vanesha sebelum mereka berangkat.

Vanesha merapikan rambutnya yang telah menjadi sedikit tidak beraturan karena angin. "Jangan khawatir, Dho," katanya, tapi ia sempat panik tadi saat mereka oleng cukup hebat. "Rumah Andre yang mana?"

"Ini warungnya." Ridho menunjuk tempat di sampingnya di mana terdapat dua kursi kayu panjang yang dibalikkan di atas gerobak dan ditutupi terpal. "Sebentar lagi seharusnya dia ke sini."

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, seorang pria dengan motornya berhenti di samping motor Ridho. Pria yang mengenakan kaos oblong dan celana selutut itu kemudian menyapa Ridho.

Jantung Vanesha berdegup keras. Satu orang lagi dari masa lalunya. Satu cerita yang akan terurai.

"Ndre," sapa Ridho balik. Ia kemudian menggestur kepada wanita di depannya. Andre memindai wanita kurus itu sebentar.

Tadi siang Ridho berkata bahwa ketika ia sedang menunggu bayaran untuk pesanan bahan makanan dari sebuah panti yang menjadi pelanggan setia perusahaannya, ia melihat sebuah potret besar yang tergantung di ruangan sang Kepala, dan salah satu anak yang berada di sana ia kenali. Vanesha Tirana, sepupunya. Setelah meyakinkan sang Kepala, ia mendapatkan kontak Vanesha berikut alamatnya, dan bertemu dengannya.

Ridho berkata Vanesha ingin bertemu dengannya, dan Andre menyetujuinya, tetapi wanita ini seperti bukan Vanesha Tirana. Wanita ini memang kurus dan gayanya memang sederhana, tetapi ia sudah bisa mengangkat kepalanya dan menatap mata orang-orang. Dan tatapannya memang redup seperti dulu, tetapi ada binar asing yang tidak menyerah.

Sepupunya tidak lagi dapat ia identifikasi dengan kekhasan di masa lalu.

"Nesha?" Andre membuang nafasnya yang sedari tadi ia tahan karena kekaguman.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang