Tiga Puluh Lima

77.9K 5.3K 74
                                    

Vanesha tiba di rumahnya pukul lima kurang. Ia keluar dari rumah pria itu pukul empat.

Tidak ada motif-motif personal di balik kepulangannya yang begitu pagi. Vanesha hanya tidak bisa tidur, jadi dia mulai beres-beres. Dan setelah segalanya beres, ia melihat semua barang-barangnya dan bertanya pada dirinya sendiri, apa sebenarnya yang menahannya untuk pulang. Jadi ia pulang setelah menitip salam pada Tessa untuk Arya, yang tidak juga keluar setelah pintunya diketuk. Tessa membekalinya dengan sestoples kukis dan beberapa kantung teh.

Sesampainya di rumah, Vanesha segera masuk, mengunci pintu, dan langsung mengistirahatkan tubuhnya di sofa. Mungkin sugesti atau apa, tapi di rumah itu, ia menemukannya lebih mudah untuk tidur. Wanita itu terbangun saat matahari sudah muncul dan jarum jam menunjukkan pukul delapan.

Pukul sepuluh, ia sudah mandi, sarapan, dan sudah berada di Rumah Sakit untuk bekerja. Dan pukul dua siang, wanita yang mengalami gejala lebih ringan itu sudah berada di jalan untuk menuju ke sebuah rumah sakit. Semalam, ia berkata pada Ridho bahwa ia ingin menemui Lala. Pria itu kemudian mengajaknya bertemu di sana sekitar pukul tiga.

"Hai," sapa Vanesha setelah ia turun dari mobil. "Maaf, aku terlambat," katanya, tidak enak hati padahal jam belum menunjukkan pukul tiga.

"Aku hanya datang lebih awal," jawab Ridho.

Vanesha tidak tahu Lala berada di trimester berapa dan dalam kegentingan seperti apa sehingga ia dirawat di rumah sakit. Namun, tidak ada ibu hamil, terlepas dari apa pun juga, yang pantas dirawat di rumah sakit seperti itu.

Sebagai orang rumah sakit, Vanesha melihat suasana di sekitarnya dalam lensa yang lain. Ia menilai sistem. Ia mengamati para pekerja. Ia bahkan mengkritisi desain bangunan beserta keamanan yang menyertainya. Dan, kesimpulannya, rumah sakit itu lebih baik tutup sekalian. Belum apa-apa, Vanesha sudah merasa seperti memasuki barak tentara perang, mencekam dan penuh jiwa yang tidak berpengharapan.

Bagaimana pun juga, wanita itu bungkam di tiap langkahnya di lorong-lorong rumah sakit yang dingin itu. Di kepalanya, sekelebat pikiran lewat, soal apa yang akan terjadi pada ia dan bayinya jika kemarin ia dilarikan ke rumah sakit seperti ini. Membutuhkan mujizat untuk bertahan. Vanesha semakin bersimpati kepada Lala dan kepada semua ibu hamil yang tidak bisa menjangkau lebih dari ini.

"Tunggu sebentar, ya," pesan Ridho, kemudian masuk ke dalam sebuah kamar kelas tiga. Tidak lama kemudian, ia keluar dengan senyum yang Vanesha rindukan, karena dulu ia sering melihatnya pada wajah ibunya. "Ayo, masuk. Bilik nomor empat."

Dari senyum itu, Ridho tampak jelas sedang berusaha kuat menjadi seorang kakak laki-laki yang tangguh. Namun, dari matanya, ia seperti baru saja menyaksikan sesuatu yang begitu menggetarkan, begitu membongkar susunan tulang-tulangnya, dan begitu menghapus jerit minta tolongnya yang tak terjembatani.

"La, Mbak Nesha."

Jadi ini adalah alasan Ridho hancur tak bersisa. Vanesha melihat sepupu perempuannya di tempat tidur yang kotor itu. Dan ia menemukan sebuah alasan valid, bukan hanya untuk hancur, tetapi juga untuk tetap hancur dan tidak pernah utuh lagi.

Vanesha membersihkan tenggorokannya yang tercekat dan mengulaskan senyum demi kesopanan. "Hai, La," bisiknya payah.

Lala tersenyum dengan wajahnya yang penuh dengan bekas darah dan beberapa lebam. Hasilnya, figurnya menjadi nampak tidak simetris dan tidak sedap dipandang. Tubuhnya yang kecil juga membiru di beberapa titik, dan yang paling kentara adalah di bagian lengan bawah dan lehernya. Mungkin seperti inilah hancurnya roh-roh yang Yesus Kristus tarik keluar dari tengah-tengah neraka, di pagi hari di mana Ia bangkit. "Hai, Mbak Nesha."

Vanesha berdeham lagi. "Kalau sakit, tidak usah dipaksa, La."

Tanpa menggubris itu, Lala melirik kursi yang kosong di samping tempat tidur. "Duduk, Mbak."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang