Empat Puluh Satu

55.2K 1.1K 48
                                    

Saat menghabiskan waktu di kamar mandi tadi, Vanesha sempat terpikir bahwa ia sungguh ingin pulang. Bukan karena ia tidak menikmati acara ini, melainkan karena ia tidak menyukai bagaimana Thomas mengikutinya keluar padahal ia sedang membutuhkan momennya sendiri.

Namun, kemudian, saat Vanesha duduk di balkon untuk mendapat udara segar dan menenangkan diri, dan kemudian Thomas mengikutinya juga, wanita itu menyadari bahwa pria ini adalah teman laki-laki yang ia butuhkan tetapi tidak pernah ia persilakan masuk.

Karena jarak emosional dengan figur laki-laki terpenting dalam hidupnya dan karena perpindahan yang tidak pernah berakhir, Vanesha benar-benar kesulitan berteman, terutama dengan laki-laki. Ia pernah berdoa meminta seorang, tetapi ia tidak pernah aktif mencoba mencari atau bahkan membuka diri. Tembok itu telah terbangun. Rasa risi itu telah tercetak. Ia selalu siaga.

Dan, malam ini, bersama Thomas, Vanesha terheran mengapa semuanya begitu mudah. Sebelum mereka menyadarinya, Vanesha sudah terserap ke dalam syahdunya malam sambil menonton Thomas mengenang, mengaduh, mengeluh, dan memuji ide-ide cerdik-garis-miring-manipulatif orang tuanya agar anak tunggal mereka berakhir di kedokteran juga.

Vanesha tertawa begitu lepas karenanya, karena ia hanya memiliki sedikit hal yang bisa ditertawakan dari keluarga kecilnya. Ia juga menyukai bagaimana pria itu begitu ringan dan damai dalam menggambarkan orang tuanya. Ia menginginkan itu juga, dan meskipun tidak bisa mendapatkannya, ternyata melihatnya pada orang lain cukup menjadi penghibur yang manjur.

Jadi cerita Thomas membuat Vanesha benar-benar bersyukur bahwa ia keluar dari acara itu. Wanita itu terpikat di dalam setiap detik cerita temannya, dan setiap kali pria itu berhenti bercerita, Vanesha akan melempar sebuah pertanyaan agar ceritanya tidak berhenti di sana. Thomas tidak tahu bahwa ceritanya begitu menarik sampai-sampai mata wanita di depannya memancarkan binar yang begitu tulus dan begitu cantik. Ia tidak bisa memadamkan binar itu, jadi pria itu melanjutkannya. Dan ia melihat senyuman itu lagi, melebar, juga tawa itu, menjadi kian merdu di telinganya.

Kisah mengenai keluarga yang penuh sayang dan tidak pergi-pergian adalah apa yang Vanesha tidak tahu sedang ia cari. Ini adalah apa yang hilang dan tidak pernah disadari tidak bisa diganti. Menemukannya di malam hari itu, di balkon hotel yang sepi, di atas ibukota dan disinari berbagai-bagai cahaya yang pas telah menciptakan atmosfernya sendiri.

Vanesha tidak ingin cerita itu berakhir. Ia tidak ingin malam itu berakhir.

Namun, toh, acara itu berakhir.

Tanpa keduanya sadari, para tamu sudah keluar dari ruang acara. Ruangan itu bahkan sudah lowong. Dan tidak lama dari sana, sepasang pria dan wanita paruh baya mendekati Vanesha dan Thomas yang masih berada di area luar.

"Nes," ujar Thomas, menyentuh punggung Vanesha lembut dan mengarahkan wanita itu pada pasangan di dekat mereka. "Ini Mama dan Papaku."

Vanesha tidak tahu bahwa orang tua Thomas berada di sini. Mengetahuinya membuatnya kembali mengenakan semua kesiagaan yang ia lepaskan, karena, meskipun ia bisa berteman, ia tidak ingin diperkenalkan kepada orang tua dari temannya. Dan Vanesha memang pernah dijadikan bahan tertawaan oleh seorang pemuda, tapi ia tahu bahwa kali ini kemungkinan besar positif, bahwa rekannya ini sedang mendekatinya dengan serius.

Mengabaikan kerisauannya, Vanesha mengulaskan senyum. Berkat cerita tadi, senyumnya dapat menjadi tulus. Cerita Thomas membuat kedua orang tuanya terasa seperti teman lama bagi si pendengar. "Hai, Tante, Om. Vanesha," katanya memperkenalkan diri. Mereka bersalaman singkat.

"Vanesha, cantik sekali malam ini," puji ibu Thomas.

"Terima kasih, Tante. Dokter Thomas bercerita banyak soal Om dan Tante."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang