Empat Puluh Lima

1.1K 117 6
                                    

Gemuruh di dadanya mengiringi keluarnya Vanesha dari mobilnya.

Wanita itu menarik napas panjang melalui mulutnya, mengharapkan terjadinya pertukaran ajaib yang mengangkut ketakutan dan kegelisahan keluar dari dadanya saaat ia mengembuskannya. Ia melakukannya lagi sambil memandangi satu titik di kejauhan.

Rumah kuning itu masih sama. Selain catnya yang rontok, tidak ada yang berbeda dari rumah itu. Anak-anak kecil berlarian di sawah di depannya. Di langit di atasnya, terbang beberapa burung liar, melintasi langit di samping satu layangan yang tidak terlalu tinggi.

Wanita itu merekam pemandangan itu. Ia merekamnya sebagaimana ia merekam Hari Itu.

Ia akan mengingat seluruh suasana di mana ia berhadapan muka dengan muka dengan seluruh ketakutan dan kegelisahannya. Ia menajamkan pendengarannya, merekam semua suara di luar dan di dalam dirinya. Ia mematung dan merasakan embusan angin yang kencang, mengingat aromanya dan mencoba mengingat bagaimana rasanya di kulitnya. Ia akan mengingat semuanya.

Setelah semuanya terekam, Vanesha berdoa. Doanya begitu singkat, seperti doa seorang pilot dan penumpangnya saat mereka tahu satu detik lagi mereka akan lenyap ke dalam lautan, doa yang terburu-buru di saat mereka menukik tajam, pertobatan yang disempatkan dan begitu putus asa.

Setelah itu, ia mengambil langkah pertamanya. Satu langkah itu berhasil berlanjut, membawa Vanesha mendekat kepada ketakutan terbesarnya.

Dari tempatnya, ia hanya bisa melihat sisi samping kanan rumah itu. Bahkan, jalanan di depan rumah itu pun tidak bisa dilihatnya karena ia berada di lapangan yang lebih tinggi dari dataran di bawah sana. Vanesha batal menuruni undakan yang mengubungkan lapangan dengan daerah di bawahnya ketika sebuah motor bebek berhenti persis di depan pagar rumah itu.

Seorang ibu dan anak laki-lakinya lalu turun dari motor itu. Sang anak menangis meraung-raung dan memukuli paha ibunya dengan tangannya yang terkepal. Seolah sudah sering menangani itu, sang ibu tetap diam. Hanya saja, bibir wanita paruh baya itu ditekan datar-datar. Vanesha tahu wanita itu berusaha mempertahankan kesabarannya, karena itulah ekspresi ayahnya sebelum meledak-ledak saat ia tidak tahan lagi. Namun, yang membuat Vanesha seluruhnya tertegun adalah kenyataan bahwa wanita itu memiliki kunci untuk rumahnya.

Gemuruh di dadanya kembali lagi. Apakah ini keluarga baru ayahnya? Vanesha sedang mencoba memahami pemandangan itu ketika si anak keluar lagi, masih dalam seragamnya, kali ini dengan sepasang sendal jelek di kakinya dan selembar uang di tangannya.

Bertepatan dengan Vanesha yang melanjutkan langkahnya ke depan rumah itu, sang ibu keluar dari dalamnya. Hal ini membuat wanita yang gelisah itu terperanjat, sehingga gerakannya menjadi kagok dan membuat si pemilik rumah meliriknya sekilas.

Ibu itu memungut sepatu dan kaus kaki anak laki-lakinya. Melihat Vanesha tidak beranjak dari depan rumahnya, ibu itu bangkit demi melayaninya.

Begitu ibu itu menatap figur di depannya, ia terkesiap hebat. Matanya serta-merta membulat dan pegangannya pada sepatu anaknya terlepas. Tanpa sadar, ia mengambil satu langkah ke belakang. "Vatima," lirihnya.

Panggilan itu membuat Vanesha tercenung. Bukan hanya karena wanita ini mengenal ibunya, tetapi juga karena ia tidak semirip itu dengan ibunya untuk dikenali dengan salah dengan sebegitu mudah dan dramatisnya.

"Ibu siapa?" tanya Vanesha tanpa bisa ia cegah, meskipun ialah yang datang berkunjung.

Wanita itu tidak memberi jawaban untuk beberapa lama. Ia hanya memandanginya dan memindai wajahnya. Tidak ada pertanda apa-apa ketika, tiba-tiba saja, air matanya turun.

Sebelum ada reaksi apa-apa dari Vanesha, ibu itu sudah membuka pintunya lebar-lebar, menarik bagian atas dari atasan lusuh yang ia kenakan demi menghapus air matanya. "Silakan masuk, Nes."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang