Dua Puluh Tujuh

64.3K 4.2K 75
                                    

Telepon itu sudah putus bermenit-menit lalu. Dan perasaan itu semakin besar: Vanesha merindukan pria itu.

Vanesha sangat merindukan pria itu, dan, sebanyak dia merindukannya, sebanyak itu pula hatinya tahu perasaan itu salah. Jadi dia menekan perasaan itu dalam-dalam, menebalkan pertahanannya, dan mengebalkan dirinya.

"Aku membuat kacang panjang," sambut Tessa saat Vanesha muncul dari balik pintu kamar.

Wanita dengan polesan bedak tipis yang menyamarkan bekas air mata itu mengambil tempat duduk yang paling ujung dan paling dekat dengannya. Vanesha tidak tahu bagaimana akan menolak kacang panjang itu, karena sedari kecil wanita itu tidak menyukainya, dan karena makanan itu satu-satunya yang ada di meja. Bagaimana pun juga bayinya harus mendapatkan sesuatu.

"Terima kasih," katanya.

Tessa menyiapkan semua perlatan makan di depan Vanesha dengan sepenuh hati. Hatinya membuncah karena jelas sekali dia sedang dilayani dengan tulus, dengan penuh hormat dan penghargaan. 

Tessa membuatnya merasa sangat penting dan ia menyukainya, sehingga, "Terima kasih, Tessa," katanya lagi, tanpa sadar, dan dengan senyum kecil.

"Ini jahenya. Tadi Arya menelepon dan menitip pesan soal jahe ini dan obat-obatan kamu." Setelah meletakkan jahe dan sepiring kecil berisi butiran obat ke depan Vanesha, Tessa mengambil tempat di dekat wanita itu. Dia menyandar ke depan, meletakkan tangannya di permukaan meja dan berkata kepada Vanesha dengan lembut, "Kamu tahu, Vanesha, kamu bisa secara langsung meminta aku melakukannya."

Vanesha mengangguk. "Aku memang akan meminta kamu, tapi rupanya dia sudah duluan."

"Dia pikir kamu tertidur di tengah-tengah telepon tadi," kata Tessa mengingat perkataan pria itu. "Kamu butuh bantuan soal apa lagi?"

"Ini saja sudah membantu banyak, Tessa, terima kasih."

Tessa tidak berbicara lagi. Dia kembali turun ke dapur dan merapikan apa-apa yang dia pikir perlu ditata ulang, dibuang, dibersihkan, atau dicuci.

"Mungkin aku butuh bantuan soal satu lagi, Tessa," celetuk Vanesha tiba-tiba, sukses membuat Tessa berbalik dan menunggunya melanjutkan ucapannya. "Arya tahu soal aku yang hampir tertabrak troli tadi siang."

"Oh, ya?"

Kening Vanesha mengernyit. Dia sangat bingung. "Ya?"

"Kamu memberi tahu dia?"

"Kamu memberi tahu dia, Tessa."

Kedua alis Tessa terangkat. D.ia cukup kaget atas tuduhan itu. "Tidak, Vanesha. Aku tidak memberi tahu dia."

Vanesha memberi jeda yang cukup panjang untuk mendengar pembelaan lanjutan dari Tessa, tapi wanita itu tidak mengatakan apa-apa lagi, sehingga pilihannya adalah menerima atau menolak sepotong pernyataan itu.

"Oke, Tessa," kata Vanesha akhirnya, "aku minta maaf."

"Bukan masalah." Tessa tersenyum dan kembali kepada urusan dapurnya.

Keheningan yang tercipta sebetulnya biasa saja, tapi Vanesha merasa sangat bersalah dan canggung. Dia cemas dan merasa harus mengisi keheningan itu dengan sesuatu. "Aku akan membaca setelah ini," katanya di tengah kunyahannya.

"Oke, aku tidak akan mengganggu kamu saat kamu sedang membaca. Beri tahu aku kalau sudah selesai."

"Arya memberi tahu soal peraturan itu?"

Pekerjaan Tessa selesai. Dia kembali duduk di tempatnya yang awal. "Dia berkata agar aku tidak mengganggu kamu saat kamu sedang membaca."

"Apa lagi yang dia katakan, Tessa?"

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang