Tiga Puluh

65.4K 4.1K 57
                                    

Vanesha Tirana memang bukan dokter kandungan, tapi ia tahu kehamilan tidak seharusnya menjadi seperti ini.

Jika kehamilan pada umumnya adalah apa yang ia alami, maka berarti ia harus percaya bahwa Tuhan membenci kaum wanita. Kebenarannya adalah, Tuhan tidak membenci kaum wanita. Jadi, jika kebencian Tuhan akan kaum wanita disangkal, maka argumen lain yang masuk akal adalah bahwa masalahnya ada pada diri Vanesha saja. Dan Vanesha tahu bahwa hal itu salah, bahwa masalahnya adalah kutuk.

Kini Vanesha merasa geram. Ketika muntahannya berakhir, Vanesha segera mengeluarkan ponselnya dari saku jas putihnya dan menghubungi kedua sepupunya. Maksudnya adalah untuk membicarakan kutuk ini yang bermanifestasi pada ibu dari Ridho dan Andre. Namun, mereka mengatakan tidak bisa. Jadi Vanesha meminta waktu kepada Pendeta Christopher, dan pria itu tidak menggubrisnya.

Mungkin, mungkin saja, Tuhan memang membenci segelintir wanita. Itu lebih baik dibanding menerima kenyataan bahwa beginilah cara-Nya mengasihi. Meskipun begitu, Vanesha tidak bisa menelan pemikiran itu ke dalam tenggorokannya. Ia tahu Tuhan mengasihinya melalui, dan terlepas dari, kehamilan yang terasa begitu rentan ini.

Wanita itu menatap pantulan wajahnya yang sudah ditambahkan riasannya. Bayangan itu membuatnya menarik napas panjang, mengucapkan doa yang pendek, dan mengelus perutnya. Ia mengoleskan sedikit minyak pada punggung tangannya, dan sesekali menghirupnya sambil berjalan ke luar toilet.

Dari samping, ia melihat bahwa pintu lift baru saja tiba dan pintunya berangsur terbuka. Langkahnya berubah menjadi lebih cepat.

Secepat ia mencapai lift yang lowong itu, secepat itu pula langkahnya terhenti. Reflek, wanita itu menarik dirinya.

"Pulang," perintah Arya Salbatier dalam nada rendahnya, mengabaikan kenyataan bahwa wanita yang dicarinya ini berusaha menghindarinya. "Rapatnya tidak akan lama. Saat itu berakhir, aku tidak melihat mobil kamu di sini dan aku sudah mendapat kabar dari Tessa bahwa kamu sudah di rumah."

Ultimatum pria itu membuat Vanesha kian geram. Wanita itu mengambil satu langkah mundur dengan kedua tangan terkepal kuat. Ketika ia akan berbalik untuk menggunakan lift lain, suara seseorang menahannya di tempat.

"Pak Arya," tegur Thomas. Dokter Penyakit Dalam itu mengangguk hormat dan mengulaskan senyumnya pada pria di dalam lift itu, yang kemudian dibalas dengan anggukan oleh Arya. Ia segera beralih kepada Vanesha Tirana, "Dokter Vanesha. Akan visite juga?"

Vanesha menoleh dan menengadah. Ia mengembalikan senyum rekannya. "Selamat siang, Dokter. Betul."

Tidak lama kemudian, sudah ada tiga orang di dalam lift itu. Dan tidak lama berselang, Vanesha sudah lolos dari waktu yang terasa begitu panjang dan ruangan yang terasa beku itu. Tidak ada obrolan di dalam ruangan sempit itu. Dan tidak ada gerakan juga jika Vanesha yang mulai diserang mual tidak sesekali menghirup minyak di punggung tangannya.

"Dokter Vanesha, apakah baik-baik saja?" tanya Thomas ketika mereka keluar dari lift dan pintu ruangan itu sudah tertutup sempurna.

"Tentu saja. Ada apa soal itu, Dok?"

"Dokter lebih terlihat seperti pasien yang harus dirawat inap," katanya. Vanesha tertawa, tapi rupanya pria itu tidak bercanda. "Perlu saya antar pulang, Dok? Saya tidak akan lama. Visite Dokter bisa diganti besok atau lusa."

"Tidak, Dokter. Terima kasih. Saya akan visite sekarang," tandasnya.

Tapi hal itu hanya omong kosong karena Vanesha tidak bisa membawa dirinya lebih dari nurse station. Lebih dari titik itu, ia kalah dari aroma yang berputar-putar di sana.

Wanita itu menghampiri seorang perawat dan berkata dengan sedikit penyesalan dan banyak harapan agar perutnya bisa menahan gejolak yang membesar setiap detiknya, berkata, "Saya akan visite besok."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang