Empat Puluh Empat

46.8K 828 27
                                    

Malam itu juga, Arya mengakhiri belasan tahun pertemanannya dengan Rachel.

Di akhir percakapan mereka, pria itu sadar bahwa ia tidak perlu mengetahui kenapa Rachel melakukan ini kepada Vanesha. Yang penting adalah Rachel melakukan ini kepada Vanesha. Pelanggarannya di situ, dan tidak ada alasan yang membenarkan manipulasi seperti itu.

Karena ini terkait masa lalu.

Tidak ada pembenaran untuk pengungkitan masa lalu. Semua orang menjadi kegagalan dan memiliki kenajisan di masa lalu mereka. Mengungkitnya, apalagi mengungkitnya untuk kepentingan pribadi, adalah hal bengis dan memalukan. Di samping itu, Kristus mengatakan sudah selesai. Tidak ada lagi yang perlu diungkit.

Ini adalah filosofi teologis yang Rachel ketahui, dan ia tetap melakukannya.

Kedua, ini adalah masa lalu Vanesha. Membahas masa lalu adalah hal berat, tetapi membahas masa lalu Vanesha adalah suatu tindakan penghancuran tersendiri.

Tidak ada anak perempuan yang bersuka kala mengingat-ingat tempelengan ayah mereka, sebutan hina dari pria itu, atau bagaimana pria itu menguncinya di luar rumah semalaman, sementara ibunya disiksa dan dipanggil dengan sesuatu yang, saat ia tumbuh besar, baru ia sadari bermakna sungguh keji.

Sekarang, masalahnya adalah, seorang anak dapat mengampuni ayahnya untuk apa yang ia lakukan padanya, tetapi ia tidak akan pernah bisa lepas dari amarah dan kepahitan atas apa yang pria itu lakukan pada ibunya. Dan, dengan hati yang penuh murka itu, di suatu pagi yang biasa, Vanesha kecil menyaksikan ibunya meninggal dalam tidurnya.

Dia belum berbahagia dalam hidupnya, Arya, ujar Vanesha dengan suara rendah, menahan agar gumpalan duka yang dibencinya tidak membesar dan menghabisinya lagi. Namun, ternyata duka itu memang masih besar dan menghabisinya. Sorot matanya menjadi jauh dan air matanya terlanjur berlinang. Dia belum memiliki pernikahan yang indah. Tidak ada suami yang menyayanginya. Arya, dia mencintai suaminya. Dia mengurusnya dengan tangannya yang jelek dan dengan seluruh penyakitnya. Tapi tidak ada uang, tidak ada rumah, tidak ada tanggung jawab dari laki-laki yang ia cintai. Dia hidup hanya untuk mati.

Hal itu dikatakan di tahun pertama mereka berpacaran, di depan makam ibu Vanesha. Dan di tahun kedua terkenang juga. Begitu terus sampai tahun keempat.

Saat itulah Arya menyadari bahwa wanita ini tidak hanya berduka atas kepergian ibunya. Ia juga berduka atas kehidupan ibunya—bagaimana ia hidup, bagaimana ia mati, dan bagaimana dunia berjalan di tengah-tengahnya. Ia berduka atas, berakar pahit pada, dan menuntut pemutaran waktu atas apa yang pernah dan tidak pernah terjadi pada ibunya.

Rachel mengetahui ini dan ia menggunakannya sebagai senjata.

Rachel tidak perlu menarik pelatuknya. Ia bahkan tidak perlu mengangkatnya tinggi-tinggi dan mengarahkannya pada Vanesha. Ia hanya perlu mengeluarkannya dari sakunya karena, di posisi Vanesha, melihat senjata itu di depan matanya adalah suatu bentuk kesudahan tersendiri.

Persepsi Vanesha bukan salah Rachel, Arya setuju benar.

Yang menjadi masalah bagi Arya adalah bagaimana Rachel menggunakannya sebagai senjata. Karena, di tangan Arya, semua cerita masa lalu Vanesha adalah serpihan yang bisa mereka susun bersama-sama menjadi mahakarya. Di tangan Sena, semua itu adalah kenangan yang harus dipeluk sekaligus dijinakkan.

Hanya Rachel yang menggunakannya dengan cara itu, meskipun, jika konsep ini dijabarkan padanya, wanita itu akan menemukan caranya sendiri untuk berkata Vanesha sendiri yang melihatnya sebagai senjata. Ia hanya membawa topik itu ke permukaan.

"Mohon maaf, Pak Arya. Sejauh ini, belum ada pencabutan terhadap larangan kunjungan," ujar salah satu perawat di lantai ruang rawat Vanesha di hari pertama wanita itu dirawat.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang