Tiga Puluh Dua

59.9K 4.1K 54
                                    

Vanesha Tirana tidak pernah menangis.

Sejak dulu, anak itu selalu seperti ibunya. Ia tegar, sabar, dan selalu mengalah terhadap temannya, situasinya, ayahnya, dan bahkan ibunya.

Namun, anak bukanlah ibu.

Tidak seharusnya seorang anak mengalah sampai sebegitunya. Anak harus menangis dan harus mengalami esensi dari menjadi anak agar ia dapat menjadi orang dewasa yang utuh, yang tidak pusing mencari siapa lagi yang harus ia besarkan seperti anak sendiri, dan bagaimana ia harus membesarkan orang itu.

Vanesha tumbuh sebagai anak yang membesarkan. Jadi ketika ia menangis, ketika kehamilan ini membuatnya menangis—dan bukan hanya menangis, melainkan menangis terus-terusan—Vanesha merasa bahwa ia adalah ibu yang gagal. 

Padahal, ia adalah anak yang gagal.

Sayangnya, ia tidak tahu itu. Ia tidak sadar. Vanesha tidak sadar bahwa semua tangisan dan gempuran batin itu adalah semua yang sudah tertumpuk sejak belasan tahun lalu dan harus keluar bagaimana pun caranya. Yang ia tahu adalah bahwa kehamilan ini membawanya kepada akhir dari dirinya sendiri.

Mungkin kutuk yang dikatakan Rachel betulan bermanifestasi di dalam hidupnya, tetapi ada juga luka yang berdarah-darah di hati Vanesha, yang menguasainya seperti kultus satanis, yang akhirnya membuatnya yakin bahwa hanya ia yang boleh merasakan sakit seperti ini, yang lain tidak.

Sayangnya lagi, Orang-Orang pada Umumnya menganggap luka sebesar itu seperti musuh yang besar. Jadi mereka berusaha mengalahkannya, seperti melalui seks, melalui minum, melalui pertengkaran, pembalasan dendam, atau apa saja yang di dalamnya kelepasan seolah-olah ada. Padahal, yang harus dilakukan adalah belajar tidur pukul tujuh sambil meladeni luka itu seperti anak bayi yang manja dan tidak ingin diatur.

Vanesha, sama seperti Orang-Orang pada Umumnya, memiliki kekeliruan itu. Ia mengira bahwa luka itu akan kalah setelah kehangatan antara ia dan pria yang ia cintai semalam. Luka, sama seperti anak bayi, tidak bisa puas dengan begitu saja. Pagi ini, ia justru terbangun setelah mimpi yang mengerikan, yang menimbulkan gemuruh hebat di dadanya, dan yang membuat kepalanya seberisik perut gunung berapi.

Vanesha terhempas kembali ke dalam kenyataan dengan kasar. Matanya seketika terbuka dan, setelah menyadari tidak ada yang telah terjadi, dia memandangi benda di dalam genggamannya.

"Mimpi apa, Vanesha?"

Mata cokelat Vanesha bergulir lesu ke atas. Arya duduk di sampingnya dan memandanginya khawatir. Lengan pria itu berada di dalam tangannya. Tangannya hangat, dan begitu pula usapan lembut pria itu.

Vanesha kembali memerhatikan tangan itu, dan bersyukur bahwa pria itu tidak biru, lembek, dan mati.

"Maaf, Arya," katanya, kemudian melepaskan tangan itu dan berangsur duduk. Vanesha mengusap wajahnya dan lega karena dia tidak menangis padahal dia sudah menjerit-jerit di dalam mimpinya. "Bukan apa-apa."

Arya menatap Vanesha lekat-lekat. "Aku lupa membahasnya semalam, tapi aku benci setiap kali kamu mengatakan kamu baik-baik saja."

"Kenapa?"

"Karena memalsukan hal-hal adalah buruk untuk kamu."

"Karena memalsukan hal-hal adalah buruk untuk anak kamu, maksud kamu."

"Masih terlalu pagi untuk membuat aku marah, Nes."

Saat itu Vanesha mencari jam, tapi dia tidak menemukan di tempat yang biasa. Kemudian wanita itu sadar bahwa semalam dia tidur di kamar pria itu, di kasur besar yang lebih luas dari miliknya, yang dia rindukan, yang hanya satu kali dia rasakan, dan dalam satu kali itu pula bayinya hadir.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang