Prolog

103K 8.3K 157
                                    

Tubuh itu sudah lembek dan dingin.

Vanesha membuka matanya.

Ia memandangi langit-langit dengan begitu lama.

Kosong. Senyap. Tapi ada suara yang merongrong hatinya untuk menggantung diri, begitu keras seperti guruh.

Napasnya kian berat dan air mengalir deras dari matanya, membasahi tulang mata dan pelipisnya, tapi tidak ada isakan—dia menangis seperti di mimpinya. Rambutnya seolah diguyur air, atau justru terendam begitu lama hingga menjadi sarang kuman yang aromanya begitu mengerikan. Seprai katun di bawahnya menempelinya dengan erat. Kain itu juga basah oleh keringat, membuatnya tidak nyaman dan bau. Air matanya tidak juga berhenti mengalir.

Air melumasi seluruh tubuhnya, dan Vanesha membenci membayangkan betapa panjangnya proses ia harus membersihkan dirinya ketika dia bahkan tidak memiliki seonggok saja kemampuan untuk mengangkat kepalanya.

Beberapa menit berlalu sampai badai emosi dan suara-suara yang menyertai mereda. Setelahnya, Vanesha menyadari bahwa itu adalah kamar di rumah susun sahabatnya.

"Nesha, apa yang lo rasakan?" tuntut Sena yang baru memasuki kamar, seraya mendekati kasur.

Ada jeritan yang menyangkut di ujung lidah Vanesha, yang dia telan dalam bisunya yang membuat Sena semakin panik.

"Nes?"

Vanesha berangsur duduk. Kepalanya begitu berat, seolah ada rantai dengan beban ratusan ton mengalungi kepalanya, memaksanya tetap menunduk. "Gue akan mandi," katanya. Baru itu dia rasakan nyeri di tenggorokan dan kepalanya hanya karena mengucapkan tiga kata.

"Lo belum makan sejak kemarin."

Vanesha berusaha keras mengingat-ingat. "Sekarang tanggal berapa?"

"Tiga puluh." Sena mendesis geram. Ia menarik tangan lemah sahabatnya dengan kasar. "Ayo kita makan dulu. Mandi bisa menunggu."

Dengan sisa tenaganya, Vanesha menarik tangannya. Ia terdiam lama. Tanggal dua puluh sembilan adalah kemarin.

Sena melangkah keluar dan mengambil semangkuk sup serta peralatan makan. Ia duduk di depan sahabatnya.

"Gue akan mandi, Sena. Gue harus pergi sebentar." Vanesha memalingkan wajahnya dan menapakkan kakinya ke lantai meskipun ulu hatinya sangat sakit.

"Lo kosong. Apa pun yang menjadi alasan lo pergi bisa menunggu. Itu harus menunggu."

"Lo tidak tahu apa-apa soal itu."

Sena meletakkan mangkuk itu di pangkuannya. Ia menatap temannya lurus-lurus. "Berhenti berlari ketika sesuatu mengganggu lo, Nes."

Vanesha akhirnya berdiri, mengabaikan rasa sakitnya. "Lo tidak tahu, Sena," katanya, kemudian berdeham untuk menelan air matanya lagi. "Terima kasih, gue akan makan di luar. Maaf."

***

Kemarin adalah Hari Itu, hari pertunangan yang keduanya rencanakan bersama-sama.

Acara itu sudah dipersiapkan matang-matang dengan campur tangan keduanya. Yang diundang hanya keluarga mereka, baik secara literal maupun metaforis. Pestanya begitu intim, sempurna dan terencana karena Vanesha membenci kejutan. Sayangnya kesempurnaan itu tidak membuat wanita itu hadir.

Vanesha Tirana tidak hadir dengan begitu saja, tanpa notifikasi atau apa saja, sehingga orang-orang mereka menjadi saksi atas tindakan tidak tahu malu, tidak berkelas, dan tidak dewasa itu, sehingga Arya Salbatier harus memproses semua asumsi keluarganya dan bahkan asumsi dirinya sendiri yang begitu liar seorang diri.

Tapi Vanesha tidak pergi. Dia yang pertama datang.

Di suatu sudut di hutan itu, dia memandang ke tebing dan dia melihat bagaimana semua yang kosong, tersusun, terisi, penuh, dan kembali kosong. Ia ada di sana, sejak mulai hingga selesai.

Berbeda dari Hari Itu, saat ini hujan turun. Gerimis membasahi bumi. Vanesha berjalan dengan sebuah ponsel di sakunya. Ia sudah mandi dan sudah apa-apa, tapi gerimis membuatnya kembali basah, meskipun tidak sebasah tadi karena ada pohon-pohon yang dedaunannya melindunginya.

Mobilnya ada di rumah. Sejak kemarin, ia hanya membawa sebatang ponsel. Ia memesan sebuah taksi dengan itu dan memintanya untuk menunggu sampai urusannya selesai. 

Sena bersaksi ia sudah akan pulang saat melihat sebuah taksi tersamarkan di sebuah sudut di hutan. Wanita itu kemudian bertanya apakah supir itu melihat seorang wanita dengan ciri-ciri seperti Vanesha, dan itu adalah bagaimana Vanesha ditemukan saat ia pingsan.

Langit sudah gelap.

Pukul 18. Vanesha tidak memiliki ide dia akan ke mana. Yang dia tahu, dia harus berlari.

Vanesha melihat ponselnya. Mati. Ia tidak memiliki kunci rumah, dan ia tidak memiliki mobilnya. Tapi ia tetap berjalan, ke sebuah tempat yang tidak akan meminta uang atau koneksi internet, dan bisa menjadi tempat istirahatnya. Gereja.

***

Ruangan itu tidak terlalu besar. Banyak tumpukan busa tempat duduk di sisi kirinya, ada meja-meja ceper di samping tumpukan itu, dan juga tumpukan kursi.

Ada salib dan patung Bunda Maria di depan, juga orang-orang kudus di sisi kiri dan kanannya.

Selain itu, ruangan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa yang terlihat, tapi Vanesha tidak sendiri.

Di dalam ruang adorasi itu, ia bersimpuh dan memejamkan matanya. Ia berkata-kata di dalam hati, tetapi kata-kata yang ia ucapkan gagal membentuk kalimat yang benar, tersistematis, dan jelas. Kata-kata itu tidak layak disebut doa. Vanesha dan seluruh intelegensinya mengutuk keras hal itu. Ia mulai membenci dirinya, dan kebencian itu begitu besar perlahan-lahan matanya basah.

Dengan kepalan tangan mengerat, Vanesha membuka matanya. Wanita itu menggertakkan giginya dan merasakan matanya basah. Ia memandangi patung dengan kosong, tanpa tujuan yang jelas, seolah yang sedang ia pindai adalah apa yang berada di dalam kepalanya, seolah dunia luar tidak nyata lagi.

Tidak mungkin tidak bisa berdoa, batinnya, kemudian mencoba lagi. Ia menutup matanya, mengatakan beberapa kata, dan merasakan kegagalan yang sama yang kian membesar.

Tidak ada lagi kemampuan untuk membenci dirinya.

Dengan air mata mengaliri pipinya, wanita itu jatuh tertidur.

Tetapi Tuhan mendengar satu kalimat yang sempat tersusun, yang pendek, yang tidak disadari, dan yang putus asa: jadilah kehendak-Mu.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang