Tiga Puluh Satu

63.8K 4.2K 66
                                    

Tidak ada yang mengerti mengapa Vanesha merasa sedikit lega mengetahui Arya belum sampai di rumah. Dan untuk pertama kalinya, ada harapan agar Tessa juga tidak ada di sana.

Vanesha memandangi Sena yang duduk di kursi pengemudi.

Dadanya serasa tertusuk saat muncul keinginan agar sahabatnya itu menghilang juga. Dia tahu harapan semacam itu tidak patut dan memang tidak akan muncul di hatinya, kecuali saat ini di mana kondisi mentalnya hancur berantakan, fisiknya letih, dan spiritualitasnya hina sehingga hatinya berbahaya.

Sehingga, "Maaf, Sena," katanya, dan bukannya terima kasih.

"Lo tidak merepotkan gue, Nes."

"Bukan karena itu." Sakit di dadanya semakin menjadi saat Vanesha mencoba melawan perasaan itu. "Gue minta maaf."

"Jadi untuk apa?" tanya Sena tidak mengerti.

"Karena gue menyakiti lo."

"Lo sedari tadi hanya duduk, Nes."

Tapi Sena tidak tahu bahwa sedari tadi hati Vanesha yang lelah sangat menginginkan semua orang yang mengenalnya agar jauh-jauh dari dirinya. Mereka semua seolah memojokkannya seperti kereta api yang terlepas liar. 

"Istirahatlah, Nes. Sampaikan salam gue untuk Arya."

Kalimat terakhir itu hampir membuat Vanesha menjerit kuat. Dia memandangi hutan melalui kaca di sampingnya dan berpikir betapa leganya untuk masuk, menghilang, dan menjadi sederhana.

Tapi tidak ada jaminan untuk yang terakhir, sehingga wanita itu tetap duduk.

Kepalanya begitu penuh dan sakit, tapi dia masih bisa berpikir bahwa kalimat Sena yang terakhir tadi adalah keinginan Sena untuk mencampuri urusannya dengan Arya. Hatinya marah besar saat merasa bahwa sahabatnya yang ingin tahu itu ingin sekali mengecek apakah hubungannya dan Arya baik-baik saja.

"Oke," kata Vanesha dengan lembut. Dia berusaha menguasai dirinya dengan berpikir bahwa semua pikiran dan perasaan yang salah itu bukanlah dirinya. "Hati-hati, Sena."

Sena tidak pergi sampai Vanesha terpaksa meninggalkannya dan masuk ke dalam rumah. Langkah kaki kurus wanita itu terlihat teratur tapi dia tahu hati sahabatnya sangat berat dan dia merepresi dengan kuat semua emosi yang muncul.

Menjadi berani untuk kembali kepada kompleksitas kehidupan ketika kematian menjamin kesudahan total hanya dilakukan oleh orang-orang terpilih.

Immanuel, Nes, bisik batin Sena sebelum menyetir pergi.

Baru disadari Vanesha saat itu bahwa pintu jati itu bisa terasa sangat berat. Ia mendorongnya, kemudian melangkah masuk.

Dia melangkah masuk. Dia melangkah masuk, dan hatinya merasa begitu bangga. Hal itu adalah pencapaian yang besar, sangat besar bahkan di atas gelar, seluruh penghargaan, dan promosi kariernya.

Dia masuk ke dalam rumah itu ketika seluruh kesadarannya memintanya berlari.

"Dia di sini, Arya," kata Tessa cepat sebelum menutup panggilan.

Saat itu Tessa berbalik, kemudian tatapan mereka bertemu. Jika tenaganya masih ada, Vanesha akan benar-benar membenci Tessa dan empat kata wanita itu. Tapi, tengah malam itu, tenaganya sudah tidak ada, sehingga dia malah membenci dirinya sendiri.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang