Lima

96.7K 8.1K 104
                                    

Bertahun-tahun lalu, seseorang juga pergi menjauh dari seseorang yang dicintainya.

Dia Vatima, ibunda dari Vanesha. Vanesha ingat betul sejak dulu dia tidak pernah tinggal diam di sebuah permukiman. Sejak dia memiliki ingatan, Vanesha selalu bergerak dari satu desa ke desa lain, berkendara dari satu kabupaten ke kabupaten lain, tumbuh besar di jalan hingga wanita itu berakhir di sebuah kota yang asing.

Satu-satunya yang menyertai perjalanan itu adalah kepanikan dan kecemasan di wajah ibunya. Wanita itu selalu menggenggam tangan Vanesha keras-keras seolah seseorang akan merampasnya pergi dan wanita itu tidak akan menemuinya lagi. Bahkan, di malam hari, Vatima selalu mengurung Vanesha dalam pelukannya di kasur kecil sebuah penginapan yang kotor dan sempit.

Vanesha kecil tidak mengerti hal apa yang membuat mereka tidak tenang dan berlari ke sana kemari, tapi setiap kali ditanya, ibunya selalu menjawabnya dengan satu kalimat yang sama.

Ini adalah harga yang harus dibayar.

Dia tidak mengerti harga untuk apa. Hal itu tidak seperti mereka sedang membeli sesuatu, karena Vanesha tidak pernah melihat ibunya memiliki uang.

Jawaban itu membuatnya muak sampai pada titik di mana dia tidak repot-repot bertanya lagi. Dalam cengkeraman ibunya, dia mengejar langkah-langkah cepat ibunya. Tidak sekali-dua kali anak itu harus terseret.

Vanesha ingat kasarnya tangan ibunya karena dipakai bekerja terlalu keras sebagai tukang cuci, tukang bersih-bersih, tukang masak, dan tukang apa saja. Kulit ibunya berwarna cokelat madu, Vanesha ingat betul saat suatu hari ibunya membeli madu. Sekali-kalinya. Dan campuran.

Wajahnya berkilau di balik kerudungnya yang memantulkan cahaya matahari sore. Matanya yang berwarna cokelat selalu menatap Vanesha seolah dia siap kehilangan semua di dunia ini, dan dia sudah kehilangan semuanya, tapi dia tidak akan merelakan putri tunggalnya. Mata itu menerobos ke kedalaman dan menanamkan keinginan kuat untuknya suatu saat menjadi seorang ibu.

Pangkuan ibunya begitu keras, namun Vanesha merasa nyaman tertidur beralaskan sepasang paha orang satu-satunya yang dia kenal dan dia kasihi saat keduanya berada di dalam bus umum menuju ke mana pun bus itu pergi. Bus itu lebih seperti perangkap dibanding kendaraan. Dia memeras seluruh keringat yang Vanesha kecil miliki.

"Kita mau ke mana, Ma?"

Vatima menunduk menatap anaknya dan tersenyum. "Ke gereja."

"Kenapa kita tidak ke gereja yang ada di Kampung?"

Vanesha mengingat senyum ibunya saat itu. Hingga saat ini, tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan senyum dan tatapan mata ibunya. Hanya emosi yang mengalir deras setiap kali Vanesha mengingat senyum itu.

Ibunya kemudian ibunya melepaskan kerudung yang dikenakannya, dan menyelimuti kaki Nesha. "Ini adalah harga yang harus dibayar."

Kampung adalah sebutan untuk area yang mereka tinggali paling lama di antara area lainnya. Mereka tinggal di Kampung. Bertolak dari sana, pelarian itu dilakukan dengan kelonggaran minim. Dari semua yang ditinggalkan, yang terbesar yang mereka berusaha keras untuk lupakan adalah ketenangan dan keluarga yang dulunya begitu mereka sayangi.

Di perjalanan kali itu, perjalanan yang berbeda karena terasa begitu lama, Vanesha menyanyikan lagu Sekolah Minggu sampai mengantuk, tertidur, dan terbangun di sebuah penginapan yang--ia beruntung kali itu--menyediakan sarapan gratis untuk menenangkan ulu hatinya yang menangis berdarah-darah.

Vatima terlihat semakin kurus dari hari ke hari, semakin lemah dan tungkainya tidak lagi kuat. Mereka berhenti berlari saat Vanesha naik ke kelas 6. Abu kendaraan menyebabkan katarak pada kedua mata ibunya, dan paru-paru wanita itu terinfeksi. Tidak ada hari terlewat tanpa Vanesha yang menangis tanpa suara di depan ibunya. Untungnya, mereka mendapat tempat tinggal gratis milik gereja di sudut yang sepi dari sebuah desa. Setiap hari, ibunya akan membuat Vanesha bernyanyi lagu gereja, dan pada hari Minggu, mereka akan menjadi yang pertama mengisi bangku gereja.

Hari Minggu itu, hari Minggu terakhir di bulan Juni, Vanesha duduk di bangku gereja dan memandangi salib yang terbentang megah di balik podium. Suara ibunya yang retak tiba-tiba terdengar.

Vatima menghela nafas lega. Sebulir air mata berlari menuruni wajahnya. Tangannya menggenggam tangan putrinya. "Ini adalah harga yang harus dibayar."

Sampai ibunya meninggal keesokan harinya, barang itu tidak juga datang. Vanesha menangis sampai ia keletihan dan kelaparan. Dia berusaha mencerna apa yang sudah terjadi dan apa yang ibunya berusaha beli hingga kematiannya saja masih kurang.

Anak itu jadi membenci apa pun yang ibunya beli. Hal itu membuatnya takut. Dan sebagai anak kecil berusia dua belas tahun, ketakutan membunuhnya. Dia tersesat. Sendirian. Tidak ada terang.

Tapi, tiba-tiba saja banyak orang mendatangi pemakaman ibunya dan memintanya ikut ke sebuah panti asuhan. Di sana dia mengatakan bahwa dia ingin pulang. Dia ingin ke Kampung di mana ayahnya tinggal. Ayahnya memang memusuhi ibunya dan terus-terusan memaki wanita itu, tapi dia tidak punya siapa-siapa lagi selain pria itu di dunia ini.

Orang-orang itu melakukan penelusuran dan mengatakan bahwa pria bernama Dirgantara, nama yang Vanesha sebutkan, tidak ada lagi di Kampung, sehingga membawa Vanesha ke panti asuhan adalah sebuah kewajiban, bahkan hal itu disetujui oleh petugas Dinas Sosial.

Di dalam perjalanan menuju panti asuhan, perjalanan yang panjang dan terasa selamanya dengan banyak kepingan kenangan menyusun setiap objek pemandangan, suara tangisan Vanesha mengisi senyapnya mobil.

Anak itu ingin membenci ibunya, tapi tidak bisa. Dia ingin membenci ibunya yang lari dan sakit dan meninggal, dia ingin membenci ibunya yang membeli sesuatu yang terlalu mahal, dia ingin membenci ibunya yang menjauhi sosok yang dicintainya, dia ingin membenci ayahnya yang juga tidak mencarinya. Dia ingin membenci kenyataan bahwa dia sendirian, tapi tidak bisa. Kelelahan mengerubunginya dan elusan tangan berat Nina Yericha, sang kepala panti, menuntunnya ke dalam alam mimpi.

Dan hingga saat ini, Vanesha belum mendapat kiriman barang yang ibunya beli.

Vanesha terbangun dengan dada bergemuruh.

Dia merasakan hal itu lagi, sesuatu yang berat dan menunjuk-nunjuknya. Sesuatu yang muncul lagi setelah empat tahun penuh kebahagiaan, yang tidak lebih dari sesuatu yang semu. 

OOO

05/03/22

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang