Tiga Puluh Delapan

73.3K 3.8K 69
                                    

Malam harinya, Arya menemui Rachel di sebuah butik. Hari ulang tahun Salbatier Holdings sudah dekat dan wanita cantik itu ingin memesan pakaian khusus untuk mereka berdua.

"Tampaknya kita memilih hari yang salah untuk ini," ujar Rachel kepada sahabatnya yang beberapa kali terperangkap basah tidak fokus. Sangat jarang Arya Salbatier membiarkan pikirannya terhilang seperti itu.

"Sori." Pria itu mengurut pangkal hidungnya sesaat dan menarik napas pendek. "Kenapa, Rachel?"

"Lo yang kenapa." Rachel duduk di sofa yang disediakan di tengah ruangan yang mewah itu dengan begitu pas, dengan kecocokan yang luar biasa kepada latar yang penuh gemerlap itu, dengan predisposisi kelas atas yang melekat padanya. "Ada apa?"

"Tidak, tidak. Ayo kita cari lagi."

Rachel tidak menjawab Arya. Ia hanya diam di tempat duduknya dan menatap pria itu datar.

Sejak dulu, wanita itu sama seperti Arya. Ia akan memaksa orang-orang yang ia pedulikan untuk duduk dan berbicara, terlepas dari kecanggungan, amarah, atau apa saja yang mungkin timbul. Jika Rachel tidak memaksa begitu, berarti ia mabuk atau ia memang tidak peduli pada orang itu.

Mengenal betul tabiat yang melekat padanya juga itu, Arya akhirnya mengalah dan duduk di sana. Kini mereka betul-betul terlihat seperti sebuah pasangan yang dominasi karismanya begitu kuat hingga seolah-olah mampu menguasai dan menaikkan prestise butik tersebut seluruhnya.

"Soal Vanesha," kata pria itu. " Gue melakukan kesalahan besar padanya."

Rachel menyimak dengan baik meskipun tidak ada yang berbeda dari ekspresi bosannya.

"Kami belum berbicara soal ini dan gue belum minta maaf."

Rachel melihatnya bahwa karena itulah sahabatnya ini tak acuh. Ia belum lega, masih ada yang mengganjal di hatinya. Wanita itu belum sempat berkata apa-apa ketika ponselnya bergetar. Ponselnya tidak pernah bergetar.

Karena itu, Arya menatap Rachel kaget. "Sebuah telepon?"

"Ya."

Tidak lama kemudian, telepon sedang berlangsung, dan tidak lama setelahnya, telepon terputus.

"Apa barusan gue mendengar Vanesha Tirana?" tanya Arya gusar. Ia menarik dirinya yang tadinya miring ke depan dengan sikut bertumpu di kedua lututnya.

"Ya," jawab Rachel, kemudian bangkit berdiri. "Kita bertemu lagi nanti."

"Dia kenapa, Rach?"

"Gue tidak ingat Vanesha mengatakan ini urusan lo."

"Rachel." Arya bangkit berdiri, mengikuti sahabatnya yang berjalan ke luar. Untuk beberapa alasan, pria itu sedikit ragu memercayakan mantan pacarnya itu kepada sahabatnya. Rachel jelas-jelas masih mendendam soal kejadian empat tahun lalu. "Bagaimana kalau kita mengampuni Vanesha?" Suara pria itu lembut. "Untuk semua yang pernah dia lakukan."

Mata Rachel berkilat defensif. Tatapannya berubah runcing dan beku. Setiap kata yang keluar kemudian menjadi tajam, "Sampai gue mendapat kepastian apakah Yudas Iskariot berada di surga, gue merasa membenci Vanesha dapat disetujui oleh Bapa."

Tidak ada catatan di kitab suci mana saja apakah Yudas, si murid yang bunuh diri setelah menjual Yesus kepada orang-orang yang kemudian menyalibkan Dia, diampuni dan masuk ke surga. Perdebatan di antara para teolog masih panas soal itu.

Rachel secara tidak langsung berkata dia tidak akan mengampuni Vanesha sampai dia mati.

Arya menggelengkan kepalanya. "Kalau lo mendapatkan teologi seperti ini di universitas gue, gue akan meruntuhkannya saat ini juga."

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang