Tiga Belas

87K 6.6K 53
                                    

Vanesha berdeham untuk menghentikan tangisannya. "Apa yang aku rasakan? Mmm..." Ia berpikir cepat, "Aku begitu mual dan pening," katanya, tidak begitu jujur saat melanjutkan, "begitu menyiksa jadi aku menangis."

Sebagaimana Vanesha menata kembali emosinya, Arya mengumpulkan kepingan benteng emosinya dan membangunnya kembali dengan cepat. Pria itu menatap wanita di depannya tegas, "Sudah makan?"

"Belum."

Mendengarnya, pria itu meliriknya tajam. Ia memasang eartips stetoskop di telinganya dan mendekatkan diafragmanya ke sebelah kiri dada wanita itu.

Vanesha menangkap tatapan tajam itu, dan ia tidak sadar ia tersinggung dan begitu marah. "Berdampak kepada kamu, aku yang belum makan?"

"Berdampak pada reputasi kamu sebagai seorang dokter dan intelek, dan dengan demikian reputasi aku juga, soal bagaimana kamu tahu konsekuensi klinis dari tidak makan, tetapi kamu tetap melakukannya. Miliki sedikit integritas dan atur pola makan kamu." Arya kemudian menyimak detak jantung wanita pucat di depannya dengan seksama.

Jarak mereka menjadi terlalu dekat sejak hampir tiga minggu terakhir. Tapi Vanesha terlalu kacau untuk gugup, dan terlalu lelah untuk menghindari kedekatan itu. Kemarahannya reda seketika. Naik-turun emosinya yang begitu drastis membuat Vanesha asing dan lelah dengan dirinya sendiri.

"Mimpi buruk?" tanya Arya, kemudian menarik dirinya.

Tatapan Vanesha menjadi defensif. "Itu tidak penting."

Arya melepaskan stetoskopnya dan meletakkannya di meja di dekat sana. "Kamu mengalami takikardia*. Kamu pucat, pusing, dan mual. Kamu menopang tubuh kamu dengan tangan—tubuh kamu lemas. Pegang tangan aku."

Vanesha menggenggam tangan Arya yang terulur.

"Remas."

Dia menekannya sedikit hingga ototnya bergetar.

Merasakan kelemahan dalam pegangan wanita itu, Arya tidak berkata apa-apa lagi. Ia memandangi mata sayu di depannya dengan amarah yang berusaha ia samarkan dengan nada tenang, "Tunggu sebentar."

Pria itu berderap keluar ruangan.

Di dalam ruangan yang kosong itu, Vanesha mengalami dirinya. Ia memperhitungkan semua mual, kelemahan, keringat yang banyak, dan sakit kepala, juga semua keputusasaan dan instabilitas emosi yang ia alami berikut kerentanannya untuk menangis. Dia mulai berpikir bahwa ia harus berobat karena serangkaian dugaan penyakit yang ia alami. Kemungkinan besar keletihan, simpulnya, karena akhir-akhir ini ia mengalami hanya sedikit istirahat. Atau mungkin ia harus ke psikolog karena semua itu bisa juga merupakan gangguan psikosomatis.

Vanesha menghela nafas dalam dan membuangnya perlahan. Ia kemudian menoleh ke sebelah kirinya, ke jendela yang terbuka sedikit, menjadi tempat masuk udara luar yang dingin dan lembut. Luar ruangan itu sedikit ricuh diselingi tawa dan tangis.

Kemudian ingatannya kembali ke rumahnya yang dulu. Rumah itu masih kokoh. Tapi apakah ayahnya ada di sana? Apakah ia masih hidup atau sudah mati? Jika masih hidup, apakah Vanesha mau menemuinya? Jika ia sudah berakhir di alam baka, apa yang akan wanita itu rasakan atau apa yang seharusnya ia rasakan?

Tiba-tiba, seorang anak kecil menjerit lantang. Vanesha berjengit kuat. Jantungnya kembali berpacu liar. Ia hampir berteriak jika Arya tidak segera masuk.

Vanesha membuang mukanya, menelan ketakutan dan rasa paniknya yang malah muncul dalam dorongan untuk pecah dalam tangis.

Pria itu membawa sekotak nasi di tangan kiri dan memegangi segelas air putih di tangan satunya.

Ia meletakkan kotak makanan di samping wanita yang terlihat berantakan itu, dan memberikan Vanesha sebuah tablet. "Minum dulu untuk menetralkan rasa mual kamu. Setelah itu makan dan tolong perhatikan polanya."

"Terima kasih." Vanesha mengunyah tablet itu. Saat ia meminum air, tenggorokannya seketika terasa licin dan lega serta perutnya semakin lapar.

"Profesor Reagan memberi perintah agar kamu dipulangkan dan peran kamu digantikan oleh Dokter Ezra. Beliau sedang dalam perjalanan." Arya meletakkan gelas kaca yang tinggal setengah terisi ke atas meja. "Aku akan mengantar kamu pulang—"

"Tidak perlu—"

"Aku akan mengantar kamu pulang dan kamu akan memakan ini." Arya membuka tutup plastik kotak berisi makanan itu dan meletakkannya di pangkuan Vanesha.

Isi kotak itu penuh dan terlalu banyak. Vanesha semakin lesu dan putus asa. "Aku tidak akan diantar pulang oleh siapa-siapa," lirihnya, seolah jika ia memiliki tenaga, ia akan menghabiskannya untuk berdebat.

"Kita tidak berdebat sekarang."

"Aku tidak tahu kenapa kamu begitu bersikeras. Apa aku terlihat selemah itu?" tanya Vanesha, karena merasa ia sudah begitu tegas dengan tatapan beraninya.

"Kamu terlihat sangat lemah, dan kamu terlihat sangat lemah di bawah institusi yang aku miliki, sehingga kamu secara langsung menjadi tanggung jawab aku. Pahami konsep sederhana itu dan mulai makan makanan itu, Nes." Arya merasa kalimatnya begitu tawar tapi kemudian ia melihat wanita itu tidak lagi mendebatnya dan mulai memakan makanannya.

Sebenarnya, Vanesha masih memiliki banyak bantahan. Satu, dua, atau seribu lagi. Berapa saja agar tidak terjebak di dalam satu ruangan yang sama dengan pria itu, hanya berdua untuk waktu yang akan terasa seperti keabadian. Namun tenaganya mulai habis.

Wanita itu memakan suapan ketiga saat Arya berkata dalam nada memerintah yang pernah ia dengar beberapa kali, tetapi tidak pernah kepadanya.

"Besok aku ingin kamu melakukan general check up dan EKG."

Ketika menengadah, mata cokelat pria itu yang pertama Vanesha lihat. Dan saat itu ia hampir menarik kesimpulan bahwa pria di depannya adalah atasan galak yang dibenci orang-orang, jika saja wanita itu tidak ingat bahwa ia pernah memacarinya selama empat tahun.

Vanesha kepayahan menelan buncis dan nasi yang baru dikunyanya beberapa kali. "Oke, aku memang mengalami mimpi buruk. Tapi jantung ini sehat. Tidak perlu membawanya sejauh itu."

"Kamu akan melakukannya," pria itu bersikeras.

"Jadi kamu juga akan merusak reputasi kita sebagai dokter dan intelek dengan melanggar otonomi aku atas tubuh aku?" Vanesha mendorong makanannya menjauh, begitu menantang dan keras kepala.

"Oke," kata pria itu tanpa berusaha mendebat apa-apa lagi, bukan karena ia kalah, tapi karena ia takut jika yang keluar adalah pertanyaan seperti mimpi apa yang sangat mengganggu sehingga kamu terbangun begitu menderita?

Vanesha merenungkannya di dalam hati soal bagaimana Arya menjadi pria yang tidak ia kenali. Pria itu menjadi sedikit pemarah, tegang, dan otoriter. Tapi logikanya tahu itu semua masuk akal dan seharusnya. Ia sudah meninggalkan pria itu dengan cara paling melukai harga diri pria mana saja, dan pria itu kebetulan adalah pimpinannya, sehingga berharap diperlakukan layaknya orang baik-baik adalah sebuah kelancangan.

"Kamu akan menghabiskannya nanti, Vanesha," titah Arya saat menarik kotak berisi makanan yang tidak tuntas itu.

Vanesha melihat pria itu membereskan makanannya, merapikan ruangan, dan mengambil barang-barangnya. Tahu-tahu saja ia panik. "Kita sudah akan berangkat?"

Pria itu segera menatapnya. "Kamu mau istirahat dulu? Apa yang kamu rasakan sekarang?"

"Baik. Kita akan berangkat sekarang?"

"Ya."

"Mobil kamu masih di tempat tadi?"

"Ya."

Ia menoleh ke kiri, ke luar jendela dan merasa jantungnya berdegup liar lagi.

Berarti ia akan melihat rumah itu lagi. Dan berarti keruntuhan itu akan terjadi lagi, seolah ia pernah utuh sama sekali.

*Takikardia: debar jantung yang terlalu cepat; umumnya disebabkan oleh reaksi dan/atau masalah metabolisme, kelainan jantung, kondisi paru-paru, penggunaan obat-obatan, dan kondisi psikologis.

OOO

10/03/22

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang