Dua Puluh Enam

69.4K 4.5K 59
                                    

Vanesha menyayangi bayinya. Dia siap, dia sedang, dan dia sudah mengorbankan apa saja demi anak itu, tapi kehamilan ini membuatnya frustrasi.

Setelah muntah-muntah tadi, perutnya menjadi kosong dan hanya kosong, sehingga Vanesha harus duduk di atas tumpukan beras di gudang untuk waktu yang lama sampai ia yakin tenaganya cukup untuk dengan cepat keluar dari supermarket itu.

Dia tidak yakin bisa berlama-lama berjalan di dalam area perbelanjaan supermarket itu karena aroma khasnya dengan mudah membuat perutnya bereaksi, percakapan tidak jelas dan bising lainnya membuatnya pening. Jejeran hewan-hewan yang mati, sayur-sayuran yang layu, ikan-ikan yang berenang dengan sekarat dan mati mengenaskan membuat dia seolah harus menyaksikan mayat-mayat dijejerkan, digantung, dan dibungkus dengan organ dalam yang terburai, sementara orang-orang sekarat dibiarkan tidak terurus dengan banyak hal menjijikkan menempel pada mereka.

Dan lagi, katakanlah hormonnya melonjak di menit-menit penenangan diri di atas tumpukan karung beras tadi, tapi Vanesha merasa begitu sentimental. Untuk alasan yang tidak jelas, air matanya menitik. Mungkin memang karena hormonnya, atau mungkin juga karena dia berpikir bahwa janinnya akan selalu tersiksa dengan hal-hal yang seperti ini selama setidaknya tiga bulan pertama.

Semua barang yang ada di dalam troli dibatalkan karena Vanesha tidak kuat mengantre. Dia dan Tessa bahkan harus duduk di lobi yang banyak angin untuk memberi wanita hamil itu kekuatan sebelum pulang dan sedikit waktu untuk beristirahat sambil sedikit-sedikit meminum air mineral.

"Vanesha Tirana, jalan-jalan saat lo membutuhkan istirahat selama tiga hari?"

Suara itu berhasil membuat Vanesha batal membelok dan memasuki mobilnya. Dari area depan, seseorang berjalan mendekatinya. "Alex," gumamnya pelan lebih kepada dirinya sendiri, tanpa berniat membalas antusiasme rekan sekaligus teman dekatnya.

Senyum usil dan seluruh godaan yang Alex siapkan seketika sirna saat melihat bagaimana wanita itu pias. Tatapan matanya juga sayu dan tidak ada gairah dalam sapaannya. "Nesha, lo tidak apa-apa?" tanyanya panik.

"Ya, gue baik-baik saja," Vanesha mengambil jalan yang mudah.

Ada gurauan dari teman sejawat para dokter bahwa wanita kurus itu memakan jurnal, disertasi, dan artikel kedokteran lebih banyak dari dia memakan nasi. Wanita itu berdedikasi dan rela jatuh sakit, kalau perlu jatuh miskin, jika hal itu berhubungan dengan pasiennya serta apa saja yang terkait dengan mereka. Jadi jika Vanesha sampai mengajukan izin, bahkan sampai tiga hari, maka sesuatu sangat buruk.

"Lo tidak baik-baik saja," ujar Alex tanpa melebih-lebihkan. Mata sipit staf bagian personalia itu kemudian melirik mobil. "Ada Arya di dalam?" tanyanya sangsi, karena pintu mobil yang baru ditutup saat dia mendekat tadi adalah pintu penumpang.

"Tidak."

"Oh, ya. Gue baru ingat dia sedang mengecek program vaksinasi sampai minggu depan. Lo dengan siapa?"

"Gue dengan Tessa," katanya singkat, seolah Alex kenal.

Alex tidak kenal tapi dia juga tidak peduli. Dia menduga Tessa mungkin adalah teman wanita itu, atau bibinya, atau siapa pun. Yang penting nama itu feminin. Jika tidak, dia mungkin akan memeriksanya dan memastikan bahwa sahabat sekaligus atasannya yang mencintai wanita itu tidak dikecewakan dua kali.

"Tessa bisa menyetir?" tanyanya.

Vanesha tidak pernah memikirkannya. Dia mengedikkan bahu tak acuh. "Mungkin, tapi gue tidak tahu dia warga negara mana."

Meskipun Tessa menjadi subjek yang menarik setelah Vanesha menyinggung soal kewarganegaraan, Alex dengan cepat menanyakan intinya, karena wanita itu menjadi kian lemas dan dia tahu dia tidak bisa bermain-main dengan seseorang yang dicintai anak laki-laki Salbatier, "Gue antar pulang, ya, Nes?"

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang