Enam

2K 134 2
                                    

Mendapatkan apa yang ia mau seharusnya menghapuskan semua mimpi buruk itu.

Hubungannya sudah berakhir. Seharusnya ia bisa tidur. Tetapi tubuhnya mengkhianatinya dengan terbangun pukul delapan pagi setelah tidur pukul empat.

Tubuhnya, pikirannya, dan lama-kelamaan dia memercayai bahwa Tuhan juga tidak mengizinkannya beristirahat, karena dia sudah meminta mimpi-mimpi itu untuk berhenti muncul, tetapi Dia tidak merespon apa-apa.

Wanita itu berkali-kali menempelkan punggung tangannya ke keningnya. Suhunya semakin tinggi. Dia menyeduh teh, dan ia merasa harus memakan sesuatu meskipun semua pemberian mantan kekasihnya sudah dilahapnya sebelum pergi tidur semalam.

Selain sampah-sampah dan debu di mana-mana, yang dimilikinya hanya setoples gandum instan dan susu bubuk. Vanesha duduk di ujung meja makan dan memandangi dua jenis makanan itu dengan muak. Ia merasa begitu sedih bahwa dia tidak memiliki makanan lain. Tanpa sadar dia bahkan ingin memaki seseorang. Kemudian ia memandangi pisau di meja dapurnya.

Cukup lama, sampai kemudian bel rumah berbunyi, kemudian suara besi selot yang diantuk-antukkan ke pagar.

Vanesha menyambut sahabatnya yang rapi dalam blus model ikat dan celana panjang. "Hai, Sena."

"Bagaimana kondisi lo? Semalam lo ke mana sampai pukul dua pagi?" Sena masuk dengan plastik di tangannya. "Sarapan dulu, Nes. Pukul sepuluh nanti gue akan belanja untuk mengisi kulkas lo."

Berbagai macam makanan dan cemilan kesukaan Vanesha terbuka di meja makan setelah Sena merapikan meja itu. Sena mengitari rumah itu dengan pandangannya, kemudian meraih sapu, pel, dan peralatan kebersihan lainnya.

"Terima kasih, Sena," kata Vanesha, hatinya langsung membaik karena semua makanan itu. "Gue saja yang bersihkan rumah ini nanti. Lo dari gereja?"

"Ya." Sena memandangi Vanesha. "Tugas lo hanya makan dan turunkan panas lo. Dan jawab pertanyaan gue yang tadi."

Makanan itu mengembalikan suasana hati Vanesha yang seluruhnya rusak dan berjaga-jaga karena mimpi-mimpinya. Ia menjadi rileks dan menjawab pertanyaan itu menjadi sedikit lebih ringan, "Semalam gue ke gereja katedral. Gue jatuh tertidur di ruang adorasi dan baru bangun dini hari."

Sena tahu tabiat sahabatnya yang sering pergi ke gereja Katolik meskipun dia adalah Protestan, yang dia tidak tahu adalah berapa banyak nyawa yang wanita itu miliki untuk merisikokan hidupnya begitu saja. "Kenapa lo tidak hubungi gue?"

"Ponsel gue mati."

"Bukan hanya lo yang memiliki ponsel."

"Gue tidak terpikir soal itu. Gue juga tidak melihat satpam di posnya," ungkapnya jujur. "Dan lo tidak perlu membawa Arya Salbatier untuk mencari gue."

Kegiatan menyapu Sena berhenti. Wanita itu menatap sahabatnya lurus-lurus. "Kenapa dengan nama lengkapnya?" tanyanya, berfokus pada sesuatu yang jauh dari pertanyaan. "Dia sudah menjadi Arya Salbatier bagi lo? Kalian berakhir?"

Patah hati itu nyata. Dia meremukkan dan meremas dada Sena hampir secara fisik. Ada luka dan ketidakrelaan mutlak di mata wanita itu saat memandangi sahabatnya yang sedang makan.

"Ya," jawab Vanesha. "Apa yang lo harapkan setelah gue tidak hadir kemarin?"

"Tidak, Nesha. Lo tidak paham." Sena meninggalkan semuanya begitu saja, kemudian duduk di samping sahabatnya, menatapnya intens. "Dia tetap seperti biasa setelah lo pergi. Dia masih mencintai lo. Saat gue bilang lo belum pulang di pukul sebelas malam itu, dia nyaris memarahi gue. Dia tidak mungkin mau itu semua berakhir. Apa yang lo lakukan kepada dia, Nes?"

Kunyahan Vanesha berhenti. Tangannya yang ia letakkan untuk menopang kepalanya, berubah meremasnya kuat-kuat. Ia ingin sekali menghancurkan suatu bagian dari dirinya yang begitu berisik dan menyakitkan. "Dia Salbatier. Kami tidak seharusnya bersama-sama sejak awal, Sena. Hal itu absolut. Dia berhak mendapatkan wanita yang memikul kuk yang sama beratnya. Jika lo bisa memahami konsep sederhana itu, lo akan mengerti kenapa gue berkata gue tidur dengan pria lain."

Hati Sena mencelos. Matanya membulat kecewa. Ia membuang nafasnya dengan kasar. "Lo tidak datang di Hari Itu hanya karena dia Salbatier dan lo kosong?"

Vanesha mengangguk. Makanannya jadi tidak enak dan dia sangat sedih, karena dia tidak tahu apa lagi yang dapat memperbaiki harinya. Percakapan itu sangat berat. Tubuhnya pegal-pegal, dan ia merasakan mual di perutnya.

"Kenyataannya sudah seperti itu sejak empat tahun lalu, Nes. Kenapa lo baru pergi di Hari Itu? Apa yang lo tutupi?"

"Kenyataan bahwa gue geli soal bagaimana lo lajang sejak lahir tapi begitu tertarik dengan intrik percintaan?" Vanesha tertawa parau, tetapi keduanya tahu bahwa hal itu tidak lucu.

Sena menarik nafas panjang. Kesedihan mengiris-iris hatinya, dan Vanesha melihat luka yang ditimbulkannya di mata cokelat Sena. Suara tegas Sena berubah lemas, "Sebetulnya apakah empat tahun itu benar-benar kurang untuk lo sadar bahwa yang Arya mau adalah lo meskipun lo pikir lo tidak pernah bisa memantaskan diri dengan seorang Salbatier?"

Vanesha menunduk menatap makanannya. Begitu lama ia membisu. Sebuah pemikiran melintas di udara dan tersangkut di hatinya, bahwa mungkin, mungkin saja, kedatangan Sena ke sana bukan hanya untuk menyelamatkannya dari pikiran buruknya untuk mati, atau hanya untuk mengantarkan makanan dan membersihkan rumahnya, tapi juga untuk menjadi satu orang sandarannya saat dia merasa kesendiriannya adalah satu-satunya hal yang mutlak.

Vanesha mengangkat kepalanya, menatap Sena yang kecewa dan sedih. Tiba-tiba saja ia melihat sahabatnya seperti batu karang yang teguh. Dan ia mencoba untuk berani berharap bahwa hal itu bukan ilusi.

"Ada percakapan yang terjadi antara gue dan Kak Rachel dua hari sebelum Hari Itu."

OOO

05/03/22

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang