Kumandang adzan dzuhur sudah berlalu, sudah terlewati beberapa menit juga semenjak Jufasya mampir sebentar ke sebuah masjid di dalam perjalanan menuju hotel. Siang ini, dirinya berencana akan singgah sejenak di hotel milik ayahnya itu.
Pria usia dua puluh lima tahun itu berpikir, mungkin Reynaldhi tengah sendirian di hotel, karena Juan ada di rumah untuk bermanja dengan sang Ayah yang baru pulang dari Bali. Jufasya hanya ingin berbuat baik pada Reynaldhi, di saat tidak ada orang yang mau peduli dengannya.
Tak butuh waktu lama lagi, Jufasya akhirnya tiba di restoran hotel, di mana biasanya Reynaldhi ada di bagian depan untuk menyatat pesanan pelanggan, namun kali ini matanya tak menangkap sosok itu.
Jufasya akhirnya berjalan ke dapur restoran, berharap dapat menemukan remaja itu. Tapi, hasilnya nihil, bahkan beberapa pelayan lain yang ia tanyai mengatakan tidak melihat Reynadlhi sejak tadi.
Jufasya kembali berjalan, pikirannya sibuk memikirkan anak itu, takut saja jika Reynaldhi kembali ke club, "Nggak, Naldhi juga tau disana berbahaya buat pendengarannya."
Pria itu lantas mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor seseorang yang tengah ia kahwatirkan sekarang. Setidaknya, ia hanya berharap ada suara dengan nada jutek Reynaldhi yang menjawab, tapi yang ia dapat hanyalah suara operator yang menandakan Reynaldhi tidak mengangkat teleponnya.
Selang beberapa menit, dan banyak panggilan telepon, Jufasya mendapati seorang pria berpakaian serba kekinian melewatinya dengan sebuah headphone melingkar di leher pria itu, "Bang!" panggilnya.
"Eh, kok disini, Fas?" tanya Jaefan, pria itu sedang menggunakan kaos hitamnya, agar sedikit santai di saat dirinya sedang tidak ada pekerjaan.
Jufasya tersenyum, "Iya, bang. Omong-omong, abang lihat Naldhi?" Senyuman Jufasya luntur, berubah menjadi wajah masam, "Daritadi aku cariin nggak ada di hotel."
Setelahnya, terdengar helaan nafas dari Jaefan, matanya menatap iba pada sang Adik, "Abang nggak ngerti ya sama kamu, walaupun kamu bilang Reynaldhi nggak ada hubungannya sama Evelyn juga, tapi abang ngerasa kamu ngelakuin ini semua buat Reynaldhi karena kamu masih ada perasaan ke Evelyn."
Jufasya mengalihkan pandangannya, seakan malas jika kakaknya sudah membahas soal hubungannya dan Evelyn yang pernah kandas di tengah jalan, "Bang, aku cuman nanya, abang lihat Naldhi atau nggak?"
"Fas, sekarang gini Evelyn bahkan nggak ngundang kamu waktu resepsi nikahnya, dia nggak ada usaha biar setidaknya ada salam perpisahan buat kamu, nggak ada pedulinya sama kamu yang hampir aja gagal menjadi dokter karena memikirkan hubungan kalian. Sekarang kamu peduli banget gitu sama adeknya yang jelas-jelas punya keluarga yang ngurus dia."
"Abang nggak tau apa-apa. Aku harus bilang berapa kali, Naldhi sama Evelyn itu beda! Bahkan, Evelyn menikah karena kakaknya nggak mau dia ngurus Naldhi terus. Reynaldhi yang udah nggak dianggap keluarga sama ayah dan kakak sulungnya."
Jaefan terdiam sejenak mendengar kalimat terakhir adiknya barusan, matanya menatap lekat adiknya, meminta penjelasan lebih rinci dari sebuah prolog mengejutkan yang Jufasya berikan.
"Memangnya semua orang tua mau menerima seorang anak yang cacat? Aku juga tau kenapa abang kayak gini, karena dari dulu abang selalu lihat orang dari fisiknya, aku tau abang juga nggak suka sma Reynaldhi lepas dari status dia adalah adiknya Evelyn. Sekarang aku tanya, dimana Reynaldhi?"
"Kemarin, aku minta Kuntara mengambilnya."
"Apa?! Abang gila ya?!"
"Oke, kamu benar, Fas! Abang nggak pernah mau dekat dengan anak yang cacat, abang memang merasa aneh ketika berada di dekat orang yang menderita disabilitas, karena abang bukan dokter kayak kamu. Abang bukan Jufasya Woohari yang selalu daddy banggain di depan teman-temannya."
![](https://img.wattpad.com/cover/249172708-288-k128666.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Reynaldhi [END]
Random"Jika mungkin, tidak apa jika nyawaku bisa ditukar dengan milik bunda." Reynaldhi ingin disayang seperti anak-anak yang lain, meskipun hanya dari sang Ayah. Reynaldhi juga ingin diperlakukan layaknya seorang adik, bukan seorang pembunuh di antara sa...